Perundingan Perjanjian Plastik: Mengatasi Krisis Plastik untuk Masa Depan Berkelanjutan
Berita Baru, Jakarta – Pada akhir bulan November 2024, perundingan Perjanjian Plastik Global atau Intergovernmental Negotiating Committee (INC 5) akan digelar di Busan, Korea Selatan. Pertemuan ini diharapkan menjadi momentum penting bagi negara-negara dunia untuk mencapai kesepakatan tentang target pengurangan produksi plastik secara global.
Pencemaran plastik saat ini mengancam potensi ekonomi laut yang diproyeksikan mencapai US$3 triliun pada 2030, sekitar 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) global. Di kawasan Asia Pasifik, sektor kelautan berperan penting dalam perekonomian, namun kawasan ini juga menanggung kerugian ekonomi sebesar US$19 miliar akibat polusi plastik.
Perjanjian Plastik Global nantinya diharapkan mampu menargetkan pengurangan produksi polimer plastik primer (PPP). Selain itu, mekanisme finansial yang kuat diperlukan untuk mendukung pengurangan ini, termasuk alokasi anggaran baru, pengelolaan sampah yang sesuai dengan hirarki, dan penerapan prinsip “pencemar membayar” (polluters pay). Tujuan utamanya adalah menurunkan produksi plastik hingga 40% pada 2040, atau setidaknya mencapai target yang sejalan dengan upaya membatasi pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celsius.
Selain pengurangan produksi plastik, perundingan juga akan menekankan pentingnya solusi berbasis penggunaan kembali dan pengisian ulang. Menurut Plastic Investment Tracker, hanya 4% dari total investasi dalam sirkularitas plastik dialokasikan untuk solusi ini, sementara sisanya, sebesar 82%, masih difokuskan pada solusi hilir seperti daur ulang.
Rahyang Nusantara, Co-coordinator Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), menegaskan pentingnya perlindungan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan melalui Perjanjian Plastik Global. “AZWI mendukung perjanjian yang bertujuan mengurangi ekstraksi bahan baku fosil, produksi plastik bermasalah, dan memperkuat solusi berbasis guna ulang dan daur ulang yang aman,” kata Rahyang. Dia juga menyerukan agar penggunaan plastik sekali pakai dan impor sampah plastik dihentikan.
Darina, perwakilan Enviu Indonesia, menambahkan bahwa kebijakan adalah faktor kunci dalam mempercepat adopsi solusi guna ulang. “Saat ini inovasi sudah banyak bermunculan, dan partisipasi konsumen serta komunitas juga tinggi. Mari ambil momentum ini, karena Indonesia sudah butuh solusi besar-besaran untuk mengurangi plastik,” jelasnya.
Rayhan Dudayev, Campaign Strategist Greenpeace Asia Tenggara, menekankan bahwa Indonesia harus mengambil peran aktif dalam diplomasi plastik di ASEAN. “Kami mendorong empat aspek utama: target global untuk pengurangan produksi plastik, peningkatan solusi guna ulang, pelarangan plastik sekali pakai, dan penerapan prinsip polluters pay,” jelas Rayhan.
Indonesia sendiri telah memiliki peta jalan pengurangan sampah hingga 2029. Namun, adopsi Perjanjian Plastik Global akan membutuhkan kebijakan yang lebih ambisius dan mengikat untuk mencapai target pengurangan produksi plastik secara global.