Dalam pidatonya, Hashim lebih banyak berbicara mengenai potensi keuntungan bisnis seperti kredit karbon, teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS), dan pendanaan reforestasi, ketimbang menyampaikan krisis iklim yang serius.
WALHI menilai, pidato tersebut tidak menunjukkan komitmen nyata dalam upaya penurunan emisi atau perlindungan rakyat dari dampak krisis iklim.
“Kepentingan bisnis korporasi lebih diutamakan dibandingkan keselamatan lingkungan dan rakyat,” ujar WALHI dalam siaran persnya pada Kamis (14/11/2024).
WALHI menambahkan bahwa pemerintah terlihat lebih fokus pada perdagangan karbon, alih-alih menekan emisi dari sektor-sektor ekstraktif seperti perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
Bisnis karbon, seperti konsesi dan perdagangan karbon, didominasi oleh perusahaan besar yang selama ini telah merusak lingkungan. Contohnya, Saratoga, Adaro, dan Harita Group yang terlibat dalam bisnis dekarbonisasi, termasuk Adaro yang memiliki konsesi restorasi ekosistem melalui anak perusahaannya PT Hutan Amanah Lestari.
Lebih lanjut, WALHI juga menyoroti konflik kepentingan Hashim dan Prabowo dalam bisnis karbon. WALHI menyebutkan keterkaitan mereka dengan beberapa perusahaan yang bergerak di sektor tersebut, seperti PT Bumi Carbon Nusantara dan PT Karbonesia Global Artha.
Pidato Hashim pun penuh kontradiksi. Meski ia menyatakan Indonesia berkomitmen mencapai nol emisi bersih pada 2060, namun target pertumbuhan ekonomi yang tinggi dinilai WALHI akan memperparah emisi karbon, terutama dari sektor hilirisasi nikel dan proyek food estate yang berpotensi merusak hutan.
Inisiatif reforestasi 12,7 juta hektar lahan kritis yang diusulkan oleh presiden juga dipertanyakan. WALHI khawatir jika program ini dilaksanakan tanpa memperjelas kontribusi korporasi yang merusak hutan, maka akan menjadi bentuk baru perampasan Wilayah Kelola Rakyat.
WALHI mengkritik pernyataan penutup Hashim yang menyebut kebutuhan investasi 2035 miliar USD dan kolaborasi internasional sebagai solusi, menganggapnya sebagai langkah pemerintah untuk memperkuat hubungan dengan para pebisnis iklim global.
Atas pidato tersebut, WALHI menegaskan bahwa pemerintah Indonesia telah gagal melindungi rakyat dan lingkungan dalam menghadapi krisis iklim. WALHI mendesak pemerintah untuk mengambil langkah-langkah tegas, antara lain menghentikan penerbitan izin baru bagi industri ekstraktif, mempercepat penghentian PLTU batubara, serta memperkuat hak rakyat atas wilayah kelola dan sumber daya alam mereka.
WALHI juga menekankan pentingnya memperbaiki fungsi ekologis yang rusak dan meletakkan tanggung jawab tersebut kepada negara dan korporasi yang telah merusak lingkungan.