Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Penyalahgunaan Izin Penebangan di Papua Nugini: Lebih dari Sepertiga Ekspor Kayu Berasal dari Operasi Ilegal

Penyalahgunaan Izin Penebangan di Papua Nugini: Lebih dari Sepertiga Ekspor Kayu Berasal dari Operasi Ilegal



Berita Baru, Jakarta – Lebih dari sepertiga kayu yang diekspor dari Papua Nugini berasal dari operasi penebangan yang disahkan melalui izin Forest Clearance Authority (FCA). Izin ini sebenarnya ditujukan untuk membuka lahan pertanian atau perubahan penggunaan lahan lainnya. Namun, menurut berbagai kelompok masyarakat sipil dan organisasi, seperti Institute of National Affairs, izin-izin tersebut sering kali disalahgunakan untuk melakukan penebangan besar-besaran di hutan yang luas.

Aktivis lingkungan dari Act Now! menyebutkan bahwa ada lebih dari 20 operasi penebangan FCA yang aktif di delapan provinsi di seluruh Papua Nugini. Operasi ini memperparah masalah penebangan liar dan tidak berkelanjutan.

“Izin FCA yang dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang Kehutanan digunakan oleh perusahaan asing untuk menebang spesies kayu keras tropis dalam jumlah besar. Pelanggaran terhadap undang-undang kehutanan serta kurangnya persetujuan awal yang bebas dan diinformasikan oleh masyarakat hutan menjadi perhatian serius,” kata Evelyn Katu Wohuinangu, pengacara dari Pusat Hukum Lingkungan dan Hak Masyarakat seperti dikutip dari Jubi.id pada Rabu (6/11/2024).

Wohuinangu menambahkan bahwa kegiatan pertanian skala besar yang seharusnya dilakukan sering kali tidak pernah dilaksanakan atau jika dilakukan, tidak menguntungkan bagi pemilik sumber daya adat. “Dalam banyak kasus, proyek pertanian tersebut tidak layak secara ekonomi dan tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal,” ujarnya.

Paul Barker, Direktur Eksekutif Institut Urusan Nasional Papua Nugini, menyatakan bahwa penyalahgunaan FCA sudah berlangsung sejak pertama kali diperkenalkan, tanpa memperhatikan proses hukum dalam pengelolaan hutan. “Diperlukan tindakan tegas dari berbagai lembaga untuk menghentikan penyalahgunaan ini,” katanya. Ia juga mendesak pemerintah untuk memerintahkan penyelidikan publik yang independen terkait legalitas izin FCA yang terus beroperasi meskipun proses SABL telah dihentikan.

Senada dengan hal itu, Sem Vegogo dari Wanigela di Provinsi Oro mengungkapkan kekecewaannya. “Masyarakat Collingwood Bay telah berjuang melawan penebangan liar selama puluhan tahun, tetapi meskipun banyak kemenangan di pengadilan, Otoritas Kehutanan Papua Nugini terus berpihak pada perusahaan-perusahaan asing,” kata Vegogo.

David Mitchell dari Eco-Custodian Advocates menyoroti proyek penebangan Loani FCA yang menurutnya tidak realistis. “Mereka berencana meningkatkan produksi kayu balsa sepuluh kali lipat tetapi tanpa analisis pasar atau rencana bisnis yang solid. Sebagian besar tanah yang mereka klaim untuk pertanian hanya cocok secara marjinal,” jelasnya.

Pamela Avusi dari PNG Environmental Alliance menegaskan bahwa Papua Nugini telah lama menderita akibat penebangan liar yang tidak berkelanjutan. “Jika pemerintah ingin mempertahankan kredibilitas di tingkat internasional, mereka harus menghentikan penebangan ini,” tegas Avusi.

Pada bulan September 2024, Perdana Menteri PNG James Marape dalam pidatonya di Majelis Umum PBB menyatakan bahwa PNG memiliki hingga tujuh persen keanekaragaman hayati dunia yang sebagian besar ada di hutan hujan tropisnya. “Kami mengelola hutan, daratan, dan laut kami secara berkelanjutan, karena kehidupan kami bergantung padanya,” katanya.

Marape juga menegaskan bahwa meskipun Papua Nugini telah berkontribusi terhadap wacana global tentang lingkungan dan perubahan iklim selama dua dekade terakhir, tindakan nyata masih sangat minim. “Namun, kami tetap siap bekerja sama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam isu ini,” pungkasnya.