Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kebijakan Ekstraktif Prabowo-Gibran Dinilai WALHI sebagai Ancaman Lingkungan dan Masyarakat Adat
Ilustrasi konsesi tambang nikel (Foto: Istimewa)

Kebijakan Ekstraktif Prabowo-Gibran Dinilai WALHI sebagai Ancaman Lingkungan dan Masyarakat Adat



Berita Baru, Jakarta – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyoroti pidato Prabowo Subianto saat pelantikan sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029, serta kebijakan-kebijakan yang diterapkan di awal masa pemerintahannya. Kebijakan yang disoroti terutama terkait ekstraktivisme, yang masih menjadi fokus utama dalam berbagai program strategis seperti ketahanan pangan, energi, dan hilirisasi.

Menurut WALHI, model ketahanan pangan yang diusung oleh pemerintahan Prabowo-Gibran masih bertumpu pada proyek-proyek skala besar seperti Food Estate. Salah satu proyek besar yang sedang berjalan adalah Proyek Strategis Nasional (PSN) di Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke, Papua Selatan, yang akan membuka dua juta hektar hutan adat untuk kebun pangan padi dan tebu.

“Proyek ini berpotensi menjadi penyebab deforestasi terbesar di Indonesia,” tegas WALHI dalam pernyataan resminya pada Selasa (30/10/2024).

WALHI juga menyoroti bahwa proyek serupa di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara telah terbukti gagal. Proyek tersebut tidak hanya menyebabkan kerusakan ekologis, tetapi juga mengakibatkan perampasan tanah masyarakat. Dalam konteks ketahanan energi, WALHI mengkritisi pemerintah yang masih mengandalkan pembangkit energi berbasis fosil, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara, serta biofuel berbasis sawit. Semua ini, menurut WALHI, hanya akan mempercepat pembukaan lahan untuk perkebunan monokultur, baik sawit maupun tebu.

Di sisi lain, WALHI juga melihat adanya pola pengambilan kebijakan yang mempermudah penerbitan izin untuk pembangunan proyek-proyek besar. Penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Kelautan di bawah Kementerian Koordinator Pangan dianggap sebagai langkah untuk memperlancar proses perizinan proyek-proyek besar seperti Food Estate dan Shrimp Estate di berbagai wilayah Indonesia. Selain itu, Kementerian ATR/BPN yang kini berada di bawah Kementerian Koordinator Infrastruktur juga dicurigai bertujuan mempermudah pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional.

“Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Pertanian, dan Wakil Menteri Kehutanan saat ini memiliki afiliasi kuat dengan pengusaha besar seperti Haji Isam,” ungkap WALHI. Haji Isam, seorang pengusaha asal Kalimantan Selatan, dikaitkan dengan proyek Food Estate di Merauke, Papua. Sejak Juli 2024, alat-alat berat seperti ekskavator telah dikirim ke Merauke, yang menandakan percepatan pelaksanaan proyek tersebut.

WALHI menambahkan, proyek tersebut berdampak langsung pada masyarakat adat Marind Maklew di Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke. Konflik sudah mulai muncul akibat penggusuran hutan adat untuk pembangunan infrastruktur, termasuk dermaga dan cetak sawah. “Diperkirakan lebih dari 50.000 masyarakat adat akan terdampak oleh proyek ini,” kata WALHI. Selain konflik sosial, WALHI memperingatkan bahwa proyek ini akan menyebabkan kerusakan ekologis yang parah, termasuk risiko banjir, longsor, dan pelepasan emisi dalam skala besar.

Dalam sejarah pembangunan Food Estate di Indonesia, WALHI mencatat bahwa belum ada proyek yang berhasil. Sebagai contoh, pembangunan lahan gambut satu juta hektar di Kalimantan Tengah pada masa pemerintahan Soeharto gagal total dan justru menyebabkan kebakaran hutan serta kerusakan gambut. Hal serupa juga terjadi pada proyek MIFEE di Maluku dan Papua, serta proyek di Sumatera Utara.

Terakhir, WALHI mempertanyakan pembentukan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) yang disebut sebagai reinkarnasi dari BAPEDAL. “Jika pembentukan BPLH tidak dibarengi dengan instrumen penindakan yang kuat, badan ini hanya akan menjadi macan ompong,” kritik WALHI. Hingga saat ini, belum ada kejelasan mengenai struktur dan kewenangan badan baru tersebut, yang penting untuk pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran lingkungan di daerah.