Apakah Konsep Omnibus Law Menganut Sistem Civil Law
Apakah Konsep Omnibus Law Menganut Sistem Civil Law
Oleh: Alfin Rahardian Sofyan
Omnibus Law yang merupakan suatu hajat besar pemerintah dalam pertumbuhan dan percepatan pertumbuhan ekonomi nasional. Memang baik tetapi mengapa menimbulkan kegaduhan dimasyarakat?
Banyak muncul statement bahwa Pengusaha merupakan pihak yang diuntungkan. penggunaan konsep omnibus law sepertinya mampu menjawab persoalan tumpang tindih aturan perundang-undangan di Indonesia.
Masalahnya, apakah konsep omnibus law ini bisa diterapkan di Indonesia yang menganut sistem civil law?
Konsep Omnibus Law sendiri menurut Sofyan Djalil sebagaimana dikutip dalam artikel Menimbang Konsep Omnibus Law Bila Diterapkan di Indonesia pernah melontarkan konsep omnibus law.
Konsep ini juga dikenal dengan omnibus bill yang sering digunakan di negara yang menganut sistem common law, seperti Amerika Serikat dalam membuat regulasi. Regulasi dalam konsep ini adalah membuat satu undang-undang baru untuk mengamandemen beberapa undang-undang sekaligus.
Dengan mengkaji konsep Triple Bottom Line (TBL atau 3BL) atau juga 3P – People, Planet and Profit yang diambil dari pernyataan John Elkington tahun 1988 memperkenalkan konsep Triple Bottom Line (TBL atau 3BL).
Dimana perusahaan tidak hanya memikirkan pada nilai Profit semata. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan untuk mengukur nilai kesuksesan suatu perusahaan dengan tiga kriteria: ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Lebih dari Sekadar Profit
Fenomena nasional dan internasional ini mengimplikasikan terkait prioritas utama dari stakeholder yang saling berkesinambungan. Pertama, People yang mendukung terkait kepentingan dan perlindungan terhadap tenaga kerja dimana adanya hak-hak pekerja yang harus terpenuhi semisal upah minimum karyawan, hak cuti, bonus, hak jaminan kesehatan pada tenaga kerja, dan jam kerja yang tidak eksploitatif serta mengutamakan tenaga lokal daripada tenaga asing.
Disini tidak tegas dijelaskan pada RUU Omnibus Law yang masih banyak dalam pengaturan mengenai hak-hak pekerja, banyak memiliki perbedaan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Kedua, Planet yang tidak dapat terpisahkan dalam suatu perusahaan terutama yang bergerak dibidang industri ekstraktif dan berkaitan langsung dengan sumber daya alam serta konsumsi terkait energi.
Aspek-aspek mengenai command and control (perintah dan pengawasan) pada lingkungan juga harus diperhatikan terutama jika melihat pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009. Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dikaitkan dengan RUU mengenai Omnibus Law bahwasanya Fungsi command and control disini sangat melemahkan terutama pada permasalahan korporasi terkait perizinan yang dirampingkan.
Semisal pada Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang hanya diwajibkan untuk memenuhi standar upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL) pada industri ekstraktif.
Serta masalah pada pemberian sanksi korporasi yang banyak diperbincangkan terkait masalah sanki admistrasi dan juga sanksi pidana. Harusnya pemerintah memberikan suatu pencerahan terkait fungsi command and control pada stakeholder terkait agar nantinya dapat saling bersinergi terutama dengan melihat fenomena sumber daya alam yang semakin menipis.
Ketiga, Profit yang tidak harusnya perusahaan hanya sekedar mementingkan keuntungan semata dimana lebih kepada bisnis yang fair antara korporasi yang memiliki modal besar dan UMKM yang memiliki kecil serta adanya etika bisnis yang terkesan tidak arogan dimana Investasi pada RUU Omnibus Law semakin mudah untuk menarik Investor asing.
Yang menjadi pertanyaan Bagaimana daya saing pengusaha yang hanya memiliki modal kecil? Dan Bagaimana Perlindungan Aset Negara terhadap Investor Asing?
kepedulian perusahaan
Disini harus diperhatikan juga bahwasanya pada RUU Omnibus Law pemerintah harus lebih memehami tujuan hukum sendiri prinsip-prinsip dasar ajaran Jeremy Bentham dalam karya monumentalnya Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789) dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa tujuan hukum adalah untuk mewujudkan the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan yang sebesar-besarnya dari sebanyak-banyaknya orang).
Dengan adanya kajian-kajian dan juga diskusi antara stakeholder terkait Pemerintah harusnya dapat membuat suatu pencerahan dan tidak menimbulkan kegaduhan pada pembahasan RUU Omnibus Law.
Masih banyak pihak yang tidak sepakat karena adanya keuntungan dari pengusaha semata. Maka dengan adanya Konsep Triple Bottom Line mungkin dapat merupakan salah satu pencerahan. Untuk menjawab keriasauan yang terjadi pada masyarakat sekarang dan konsep tersebut sebenarnya jika diimplikasikan secara baik dan benar semua stakeholder tidak perlu risau dengan adanya RUU Omnibus Law.
Alfin Rahardian Sofyan, adalah Alumni Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Jember, sekarang aktif di Legal Consultant Perusahaan Pertambangan.