SPK Ungkap Penurunan Jumlah Penerima BPI Picu Kekecewaan di Kalangan Dosen dan Pelamar
Berita Baru, Jakarta – Penurunan drastis jumlah penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) pada tahun ini memicu kekecewaan di kalangan pelamar, terutama dosen. Jumlah penerima yang sebelumnya mencapai 3.000 orang kini anjlok menjadi 1.200, menciptakan polemik besar terkait kebijakan beasiswa ini. Para pelamar, yang sebagian besar bergantung pada BPI untuk melanjutkan pendidikan tinggi, terkejut dengan perubahan ini.
Ketidakpastian ini memicu diskusi di kalangan akademisi, salah satunya melalui grup diskusi Serikat Pekerja Kampus (SPK). Beberapa anggota mengungkapkan bahwa salah satu alasan utama penurunan tersebut adalah pengalihan anggaran BPI ke program lain. Hal ini membuat para pelamar menuntut transparansi lebih lanjut dari pengelola BPI terkait proses seleksi.
“Proses seleksi terasa semakin tidak jelas, terutama pada tahap wawancara. Wawancara yang dilakukan hanya berlangsung beberapa menit tanpa ada penjelasan mendalam mengenai hasil akhirnya,” ungkap SPK dalam laman resminya pada Rabu (16/10/2024).
Selain ketidakpastian di tahap seleksi, masalah transparansi juga semakin diperburuk oleh lambatnya pengumuman hasil seleksi. Banyak pelamar mengaku harus menunda rencana studi mereka karena belum ada kepastian dari pihak penyelenggara beasiswa.
Masalah teknis seperti kerusakan situs web saat pelamar hendak mengunggah berkas juga menjadi sorotan. Beberapa pelamar mengeluhkan bahwa situs tidak berfungsi saat masa-masa kritis wawancara dan pengunggahan berkas. Situasi ini dinilai sebagai bentuk kurangnya kesiapan infrastruktur yang memperkuat kesan pengelolaan BPI dilakukan secara tidak profesional.
“Sulit untuk merasa optimis jika setiap tahap dalam proses seleksi berjalan tidak konsisten dan sering kali berubah tanpa alasan yang jelas. Ini menghilangkan kepercayaan kami terhadap sistem,” tambah SPK.
Isu ini semakin memanas ketika dibandingkan dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), yang sering dijadikan tolok ukur. Menurut beberapa pelamar, proses seleksi LPDP dinilai lebih transparan dan terstruktur, meskipun tetap ada tantangan dalam pencairan dana. Kendati demikian, LPDP dianggap lebih dapat diandalkan daripada BPI yang mengalami berbagai ketidakpastian. “LPDP mungkin tidak sempurna, tetapi setidaknya prosesnya jelas dan adil. Sementara itu, BPI tidak memberikan kepastian sama sekali,” ujar SPK.
Kritik terhadap BPI tidak hanya berhenti di proses seleksi. Banyak dosen yang berhasil mendapatkan beasiswa jenjang S3 juga mengeluhkan keterlambatan pencairan dana. Hal ini membuat mereka menghadapi tekanan finansial, terutama bagi yang melanjutkan studi ke luar negeri.
Meski ada upaya untuk memperbaiki sistem, banyak pelamar menganggap bahwa pengelolaan BPI sebaiknya diserahkan kembali kepada LPDP yang dinilai lebih transparan dan efisien. Namun, beberapa pihak tetap optimis bahwa advokasi dan tekanan dari publik dapat mendorong perbaikan sistem beasiswa ini.
Polemik ini menunjukkan bahwa beasiswa yang seharusnya menjadi jembatan menuju pendidikan tinggi justru menjadi sumber frustrasi bagi banyak pelamar. Jika tidak ada perbaikan segera, reputasi BPI sebagai program unggulan pemerintah untuk pendidikan tinggi di Indonesia bisa semakin merosot.