Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

KontraS
Bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke-79, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kembali merilis Catatan Hari TNI pada 4 Oktober 2024.

KontraS Ungkap Puluhan Kasus Kekerasan oleh Prajurit TNI Sepanjang Satu Tahun Terakhir



Berita Baru, Jakarta – Bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke-79, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kembali merilis Catatan Hari TNI pada 4 Oktober 2024. Laporan tersebut mengungkapkan lemahnya implementasi reformasi di tubuh TNI, terutama terkait kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan oleh prajurit TNI sepanjang satu tahun terakhir.

Berdasarkan pemantauan KontraS dari Oktober 2023 hingga September 2024 melalui data media dan advokasi, ditemukan 64 kasus kekerasan yang melibatkan anggota TNI terhadap warga sipil. Jenis kekerasan yang dominan adalah penganiayaan, penyiksaan, intimidasi, dan tindakan tidak manusiawi. “Sebanyak 64 peristiwa kekerasan tersebut menyebabkan 75 orang luka-luka dan 18 orang tewas,” ungkap Dimas Bagus Arya, Koordinator KontraS, dilansir dari siaran persnya pada Jum’at (4/10/2024).

Lebih lanjut, Dimas menekankan bahwa motif di balik kekerasan seringkali sepele dan dapat diselesaikan tanpa kekerasan. “Arogansi di lapangan menunjukkan bahwa beberapa prajurit masih melupakan jati diri mereka sebagai tentara rakyat. TNI harus tegas memberikan sanksi kepada prajurit yang melanggar hukum dan menegakkan supremasi hukum sesuai amanat UU TNI,” tambahnya.

Selain kasus kekerasan, KontraS juga menyoroti wacana revisi UU TNI yang memungkinkan prajurit menduduki jabatan sipil dan menghapus larangan bisnis militer. Menurut Dimas, wacana ini bertentangan dengan prinsip reformasi sektor keamanan dan supremasi sipil yang diperjuangkan pasca-reformasi. “Seharusnya tentara profesional tidak berbisnis. Kesejahteraan prajurit harus dijamin oleh negara melalui APBN, bukan melalui bisnis militer,” ujarnya.

Situasi kekerasan di Papua juga menjadi perhatian dalam catatan tersebut. Pendekatan militer oleh pemerintah di Papua disebut terus menelan korban jiwa, baik dari pihak warga sipil maupun TNI. “Konflik di Papua harus segera dievaluasi. Cara penyelesaian yang lebih humanis dan sesuai hukum humaniter harus dipikirkan, demi melindungi warga sipil,” tegas Dimas.

KontraS juga mengkritik peradilan militer yang dianggap tidak memberikan efek jera kepada pelaku kekerasan. Laporan tersebut menyerukan agar pemerintah dan DPR-RI fokus pada revisi UU Peradilan Militer ketimbang UU TNI yang dianggap bermasalah. “Revisi UU Peradilan Militer yang sesuai dengan TAP MPR No. VII/MPR/2000 perlu segera dibahas untuk meningkatkan akuntabilitas dalam institusi TNI,” pungkas Dimas.