Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store
Masyarakat adat Desa Kualan Hilir membentangkan spanduk bertuliskan “Cabut Izin PT. Mayawana Persada” dengan lantar tumpukan kayu hasil pembabatan hutan alam oleh PT. Mayawana Persada. (Foto: Jawapos Radar Pontianak)

Masyarakat Desa Kualan Hilir Tuntut Cabut Izin PT. Mayawana Persada



Berita Baru, Jakarta – Masyarakat Adat Desa Kualan Hilir, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, kembali melancarkan aksi protes terhadap PT. Mayawana Persada. Bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil dan musisi, mereka membentangkan spanduk bertuliskan “Cabut Izin PT. Mayawana Persada” sebagai bentuk tuntutan atas kerusakan yang disebabkan perusahaan tersebut.

Menurut laporan Jawa Pos Radar Pontianak, pada Kamis (19/9/2024), ratusan warga Kualan Hilir mengenakan pakaian adat berwarna merah, mendatangi konsesi PT. Mayawana Persada yang berjarak sekitar satu kilometer dari kampung mereka. Dengan latar belakang tumpukan kayu bekas pembabatan hutan, mereka menuntut agar izin perusahaan dicabut.

Protes ini dilatarbelakangi oleh penyerobotan hutan adat dan lahan kelola masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan. PT. Mayawana Persada, yang merupakan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI), mendapat izin dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2010 untuk mengelola lahan seluas 136.710 hektar di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara. Namun, sejak tahun 2016 hingga 2023, perusahaan ini melakukan pembabatan hutan alam seluas 55 ribu hektar dan merampas lebih dari 4.000 hektar tanah kelola masyarakat. Akibatnya, 58 warga kehilangan mata pencaharian mereka.

Petrus Pecun, seorang warga yang terdampak, menceritakan peristiwa tragis yang dialaminya. “Ladang dan kebun milik saya dirampas oleh perusahaan. Totalnya sekitar 40 hektar,” ungkap Petrus saat pertemuan di balai adat Dusun Sabar Bubu pada Rabu (12/09/2024). Ia menambahkan, kebun karet yang sudah digarapnya selama puluhan tahun, dengan pohon karet yang berusia lebih dari 20 tahun, kini hilang tanpa ganti rugi yang memadai.

Petrus, yang sebelumnya mengandalkan hasil kebun karet untuk menghidupi keluarganya, kini terpaksa mencari nafkah tambahan dengan berburu dan memasang alat tangkap ikan di sungai. “Kami sedih dan harus mencari uang dengan cara lain, seperti menjadi buruh panen atau membersihkan sawit,” ujarnya.

Kepala Dusun Sabar Bubu, Andreas Ratius, menambahkan bahwa penyerobotan lahan tidak hanya terjadi di Desa Kualan Hilir, tetapi juga di desa-desa lain di Kecamatan Simpang Hulu. “Bukit Sabar Bubu adalah jantung kami. Di sana terdapat sumber mata air dan tempat bersemayamnya leluhur kami,” jelas Ratius dengan penuh emosi. Ia mengungkapkan kemarahan terhadap perusahaan yang tidak hanya membabat hutan adat tetapi juga mengubur kayu hasil tebangan di konsesi mereka, dengan alasan untuk pelebaran jalan.

Juru Kampanye Trend Asia, Bayu Maulana Putra, menyatakan bahwa PT. Mayawana Persada adalah situs deforestasi terbesar di Indonesia. “Sejak 2021 hingga 2023, mereka telah menghilangkan hutan alam seluas 33 ribu hektare,” ungkap Bayu. Ia juga mencurigai bahwa perusahaan ini akan beralih dari HTI ke hutan tanaman energi (HTE) untuk proyek biomassa, yang akan memperparah deforestasi dan mengancam keberadaan masyarakat adat.

Pemerintah mengklaim bahwa proyek biomassa dapat menekan emisi karbon, namun hal ini justru menyebabkan pengorbanan besar pada hutan alam. “Di Kualan Hilir salah satu contohnya,” tutup Bayu.