Dalam penyusunan policy brief ini, WALHI Aceh merekomendasikan beberapa langkah strategis yang dapat diambil oleh Pemerintah Aceh. Salah satu rekomendasinya adalah mempertimbangkan penggunaan lahan dari Hak Guna Usaha (HGU) yang izinnya tidak diperpanjang, atau menggunakan lahan di luar kawasan hutan melalui skema perhutanan sosial.
“Pengalokasian 20 persen lahan HGU bagi masyarakat sekitar, khususnya korban konflik dan mantan kombatan, dengan skema kebun plasma yang dikelola masyarakat dengan sistem bagi hasil, adalah salah satu opsi yang bisa dipertimbangkan,” ujar Direktur WALHI Aceh, Ahmad Salihin dikutip dari AJNN.net, Sabtu (14/9/2024).
Menurut Ahmad, banyak lahan yang dialokasikan untuk mantan kombatan, Tapol/Napol, dan korban konflik Aceh justru berada di kawasan hutan, yang menimbulkan berbagai masalah. “Indikasi kawasan yang dialokasikan berada di kawasan hutan menimbulkan tantangan, seperti kurangnya akses jalan dan potensi gangguan jalur migrasi satwa, seperti gajah,” tambahnya dalam media briefing di Sekretariat WALHI Aceh pada Jumat, 13 September 2024.
Selain itu, hingga 2024, distribusi tanah pertanian untuk mantan kombatan dan korban konflik belum sepenuhnya selesai. Pemerintah Aceh baru mendistribusikan sekitar 5.934 hektare lahan, namun hanya sekitar 2.000 hektare yang sudah dimanfaatkan. Ahmad menekankan pentingnya memastikan lahan yang diberikan dapat dimanfaatkan secara optimal oleh penerima. “Semangatnya policy brief ini adalah untuk pemenuhan mandat UUPA yang layak. Jangan hanya memberi, tapi lahan tidak bisa dimanfaatkan, maka sama saja,” tegasnya.
Ahmad juga merekomendasikan agar Pemerintah Aceh membuat peta jalan (roadmap) yang jelas dalam upaya reintegrasi mantan kombatan ke dalam masyarakat, serta memberikan kompensasi bagi tahanan politik dan masyarakat sipil yang terdampak konflik. Pemerintah perlu menetapkan kriteria yang jelas bagi penerima manfaat, baik mantan kombatan GAM, Tapol/Napol, maupun korban konflik, agar proses reintegrasi berjalan efektif dan adil.
Policy brief ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi Pemerintah Aceh untuk menyelesaikan alokasi tanah pertanian sesuai dengan mandat MoU Helsinki dan menciptakan solusi yang menguntungkan bagi semua pihak, termasuk aspek sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan hidup.