KontraS Serukan Penyelesaian Pelanggaran HAM di Aceh
Berita Baru, Jakarta – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menegaskan urgensi penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Aceh, terkait dengan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005. MoU tersebut mengatur pembentukan Pengadilan HAM di Aceh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), serta berbagai bentuk rehabilitasi dan kompensasi. Namun, hingga kini, kewajiban-kewajiban tersebut belum sepenuhnya terpenuhi.
Diketahui, MoU Helsinki menetapkan empat kewajiban negara sebagai bagian dari penyelesaian pelanggaran HAM, yaitu pengungkapan kebenaran, penuntutan pidana, reparasi korban, dan jaminan ketidakberulangan. Kesemua kewajiban ini harus dilaksanakan secara bersamaan tanpa saling menegasikan.
“Sayangnya, hingga saat ini, pemerintah belum membentuk Pengadilan HAM di Aceh sesuai ketentuan Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2006 yang mengatur pembentukan pengadilan tersebut dalam waktu satu tahun setelah UU diundangkan. Selain itu, berkas penyelidikan dari Komnas HAM terkait kasus-kasus seperti Rumoh Geudong dan Pos Sattis belum mendapatkan tindak lanjut dari Kejaksaan Agung,” demikian dikutip dari rilsi resmi KontraS, Kamis (15/8/2024).
KontraS menegaskan Undang-Undang Pemerintahan Aceh juga memandatkan pembentukan KKR di Aceh dalam waktu yang sama. KKR Aceh baru dibentuk pada 2016, jauh melewati tenggat waktu yang ditentukan oleh UU Pemerintah Aceh, melalui Qanun Aceh No. 17 Tahun 2013.
Pada 2022, Presiden Joko Widodo membentuk Tim PPHAM untuk menyelesaikan hak reparasi secara non-yudisial. Namun, kebijakan ini menghadapi sejumlah masalah, termasuk tidak adanya pelibatan aktif korban, keterbatasan rekomendasi tim, serta ketiadaan permintaan maaf dari negara dan jaminan ketidakberulangan. Pelaksanaan hak reparasi oleh PPHAM juga menemui kendala seperti kinerja tim yang lambat, insensitivitas pemerintah, dan ketidaksesuaian data korban.
“Dengan berakhirnya masa kerja Tim PPHAM pada Desember 2022 dan tim pemantau rekomendasi PPHAM pada Desember 2023, proses penyelesaian non-yudisial ini belum ada kejelasan. Para korban masih menunggu kepastian dari pemerintah, yang dianggap hanya menjadikan PPHAM sebagai upaya pencucian dosa terkait pelanggaran HAM berat,” tuturnya.
KontraS menegaskan bahwa impunitas terhadap pelaku pelanggaran HAM di Aceh terus berlanjut karena ketidakadaan Pengadilan HAM. Situasi ini menambah frustrasi dan ketidakadilan bagi korban yang melihat pelaku tetap bebas tanpa pertanggungjawaban hukum.
Oleh karena itu, KontraS bersama KontraS Aceh, PASKA Aceh, Koalisi NGO HAM Aceh, dan Asia Justice and Rights (AJAR) mendesak:
- Presiden Joko Widodo untuk membentuk Pengadilan HAM di Aceh sebagaimana diamanatkan dalam MoU Helsinki dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh;
- Kejaksaan Agung untuk melanjutkan proses hukum kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat di Aceh ke tahap penyidikan;
- Presiden Joko Widodo untuk menindaklanjuti Laporan Temuan KKR Aceh; dan
- Presiden Joko Widodo untuk memenuhi hak reparasi korban secara substantif, menyeluruh, dan berkeadilan.