Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kantor Komnas Perempuan
(Foto: Istimewa)

Komnas Perempuan Kritik Putusan Bebas Kasus Femisida di Surabaya



Berita Baru, Jakarta – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan kekecewaannya terhadap putusan bebas yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya kepada terdakwa Gregorius Ronald Tannur dalam kasus femisida. Komnas Perempuan menilai keputusan ini mencederai hak keadilan korban dan keluarganya, serta menambah catatan buruk penegakan hukum kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.

Menurut Siaran Pers yang diterbitkan pada Sabtu (27/7/2024), Komnas Perempuan menganggap putusan bebas tersebut sebagai refleksi dari hukum yang tidak konsisten, “tajam ke bawah tumpul ke atas.” Komnas Perempuan mengapresiasi upaya Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang telah menambahkan restitusi dalam tuntutan untuk mendukung pemulihan anak korban yang kehilangan ibunya. Meskipun demikian, Komnas Perempuan mendorong JPU untuk mengajukan upaya hukum kasasi dan meminta Badan Pengawasan MA (Bawas MA) serta Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasi kasus ini secara mendalam.

Kasus ini bermula dari peristiwa penganiayaan yang terjadi pada 3 Oktober 2023, di mana korban mengalami kekerasan fisik dan psikologis yang sangat parah, termasuk pemukulan, penempatan dalam bagasi, pelindasan dengan mobil, dan penundaan pengobatan. Rangkaian kekerasan ini mengarah pada kategori femisida, yaitu pembunuhan perempuan dalam relasi kuasa timpang berbasis gender antara korban dan pelaku yang merupakan pacarnya.

Komisioner Tiasri Wiandani menyatakan rasa kekecewaannya atas vonis bebas tersebut, menyoroti adanya bukti-bukti kuat seperti CCTV, hasil visum, dan luka pada tubuh korban yang tidak mendapatkan perhatian yang layak dalam putusan. “Upaya terdakwa untuk menolong korban bukan berarti menghilangkan fakta bahwa terdakwa terlibat dalam penganiayaan yang mengakibatkan kematian,” tegas Tiasri.

Sejak 2017, Komnas Perempuan memantau kasus kematian perempuan dengan indikator femisida. Pada 2023, terpantau 159 kasus femisida, dengan femisida intim yang dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangan, merupakan jenis kasus tertinggi, mencapai 67% dari keseluruhan kasus. Komisioner Siti Aminah Tardi menyoroti bahwa sistem hukum Indonesia belum secara khusus mengatur femisida sebagai tindak pidana tersendiri. Namun, Komnas Perempuan mengapresiasi upaya JPU yang melibatkan tuntutan berlapis dan restitusi untuk keluarga korban.

“Kami mengapresiasi penyidik dan jaksa penuntut umum yang telah mengontruksikan kasus ini dengan dakwaan yang berlapis mulai dari pembunuhan, penganiayaan yang menyebabkan kematian, penganiayaan dan kelalaian yang menyebabkan kematiaan dan tidak hanya dengan menuntut pidana, namun menambahkan untuk membayar restitusi pada keluarga korban atau ahli waris senilai Rp 263,6 juta yang menunjukkan perspektif dan keberpihakan kepada keluarga korban khususnya anak korban yang kehilangan Ibu yang selama ini membiayainya. Kami mengharapkan pola penggabungan tuntutan pidana dan pembayaran ganti kerugian ini dapat diadopsi oleh jaksa penuntut umum lainnya,” kata Siti Aminah Tardi, melalui Siaran Pers Komnas Perempuan pada Sabtu (27/7/2024).

Komisioner Theresia Iswarini menambahkan bahwa kebijakan pemulihan keluarga korban femisida sangat penting. Pendampingan psikologis, peer support, dan bantuan finansial dapat membantu keluarga korban memulihkan diri dari dampak psikologis dan mencegah kemiskinan absolut.

Dalam siaran persnya, Komnas Perempuan merekomendasikan agar Badan Pengawasan MA dan Komisi Yudisial memberikan perhatian dan pengawasan terhadap kasus ini serta mendorong media massa dan masyarakat sipil untuk memantau upaya hukum pada tingkat kasasi. Komnas Perempuan berharap agar keadilan dan pemulihan bagi korban dan keluarganya dapat segera terwujud.