JATAM Sebut Tambang Nikel di Halmahera Tambah Kemiskinan dan Kerusakan Lingkungan
Berita Baru, Jakarta – Laporan terbaru dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengungkapkan gambaran mengejutkan mengenai dampak ambisi pemerintahan Joko Widodo untuk menjadikan negara Indonesia sebagai pusat industri mobil listrik dunia. Laporan menganilisis dampak destruktif dari ekspansi industri nikel di Halmahera, Maluku Utara, yang disertai oleh perampasan lahan, kerusakan lingkungan, dan meningkatnya kemiskinan di daerah tersebut.
Diketahui, Indonesia dengan cadangan nikel terbesar di dunia yang mencapai 72 juta ton dari total 139,4 juta ton, telah menjadi fokus utama kebijakan hilirisasi pemerintah. Presiden Joko Widodo berambisi menjadikan Indonesia sebagai pusat industri kendaraan listrik global dengan melarang ekspor nikel mentah sejak Januari 2020. Tujuannya adalah untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri dan membuka lapangan kerja baru.
Namun laporan JATAM mengungkapkan bahwa meskipun kebijakan tersebut diharapkan dapat meningkatkan produksi baterai kendaraan listrik, kenyataannya 70 persen dari bijih nikel yang diekstraksi digunakan untuk pembuatan baja tahan karat, sedangkan hanya 5 persen yang digunakan untuk baterai kendaraan listrik. Seperti diuraikan dari Laporan JATAM bertajuk “Penaklukan dan Perampokan Halmahera: IWIP sebagai Etalase Kejahatan Strategis Nasional Negara-Korporasi” yang di terbitkan pada Rabu (24/7/2024).
Ekspansi tambang nikel di Sulawesi, Maluku, dan Papua Barat membawa dampak besar bagi lingkungan dan masyarakat setempat. Data menunjukkan bahwa lebih dari 380 izin usaha pertambangan nikel telah diterbitkan dengan luas konsesi hampir satu juta hektar. Di Halmahera Tengah, 95.736,56 hektar wilayah, atau 42 persen dari total luas daratan, telah dikonsesikan untuk pertambangan. Laporan JATAM juga menunjukkan peningkatan angka kemiskinan di wilayah tambang, dengan Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara mengalami kenaikan persentase kemiskinan. Indeks kedalaman kemiskinan di Halmahera Tengah meningkat dari 1,36 poin pada 2022 menjadi 1,80 poin pada 2023.
Hadirnya 8 smelter nikel di Maluku Utara sejak 2021, termasuk PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), PT Mega Surya Pertiwi, dan PT Wanatiara Persada, mengancam lahan dan sumber daya air vital bagi masyarakat setempat. Ekstraksi air dari sungai-sungai di Halmahera untuk kebutuhan industri mencapai 27.000 m³ per hari, jauh di atas kebutuhan air penduduk setempat. JATAM menyerukan perhatian serius terhadap dampak sosial-ekologis dari operasi industri nikel dan perluasan kawasan industri di Halmahera.
Sejak larangan ekspor nikel mentah diterapkan pada Januari 2020, pemerintah berharap kebijakan hilirisasi dapat membawa manfaat ekonomi bagi Indonesia, terutama dalam industri kendaraan listrik. Namun, laporan JATAM menunjukkan bahwa 70 persen dari bijih nikel yang diekstraksi digunakan untuk pembuatan baja tahan karat, bukan baterai kendaraan listrik yang diharapkan.
Hilirisasi nikel ini telah memicu percepatan dan perluasan pembongkaran nikel di wilayah-wilayah seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan peningkatan angka kemiskinan di wilayah-wilayah ini. Di Sulawesi Tengah, angka kemiskinan naik dari 12,30 persen menjadi 12,41 persen. Sulawesi Selatan juga mengalami peningkatan dari 8,66 persen menjadi 8,70 persen, sementara di Maluku Utara angka kemiskinan naik dari 6,37 persen menjadi 6,46 persen.
Di Halmahera Tengah, indeks kedalaman kemiskinan meningkat dari 1,36 poin pada 2022 menjadi 1,80 poin pada 2023, jauh di atas rata-rata nasional sebesar 1,53 poin. Hal ini menunjukkan bahwa jurang kemiskinan di Halmahera Tengah semakin dalam akibat perluasan konsesi pertambangan yang mencakup 95.736,56 hektar, atau 42 persen dari total luas daratan Halmahera Tengah. Akibatnya, lahan pertanian dan sumber mata pencaharian masyarakat setempat hilang.
Situasi ini diperparah dengan adanya 127 izin usaha tambang di Maluku Utara, dengan 62 di antaranya merupakan tambang nikel yang tersebar di berbagai wilayah seperti Halmahera Timur dan Halmahera Selatan. Konsesi pertambangan terbesar dipegang oleh perusahaan-perusahaan seperti PT Weda Bay Nickel dan PT Mega Haltim Mineral, yang semakin memperburuk dampak sosial dan lingkungan bagi masyarakat setempat.