Masyarakat Sipil Kritisi Perubahan UU KSDAHE: Menyesatkan Navigasi Konservasi
Berita Baru, Jakarta – DPR RI dan Pemerintah telah menyepakati pengesahan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Meski banyak pihak menginginkan pembaruan komprehensif, perubahan tersebut justru memunculkan berbagai permasalahan baru.
Perubahan konsep dari undang-undang pengganti menjadi undang-undang perubahan membuat materi muatan dalam RUU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) belum mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat dan tantangan konservasi yang ada.
“Dengan disahkannya RUU KSDAHE menjadi undang-undang, ini mempertegas bahwa konservasi sumber daya alam hayati di Indonesia masih berfokus pada paradigma lama: pemanfaatan, pengawetan, dan perlindungan,” kata Andi Muttaqien, Direktur Eksekutif Satya Bumi dalam siaran resmi Satya Bumi yang dikutip Senin (15/7/2024).
Dalam proses pembahasan RUU KSDAHE, kelompok masyarakat sipil menyoroti pengabaian prinsip partisipasi bermakna dan pembahasan yang tertutup oleh tim Panja RUU KSDAHE. Tidak hanya proses pembentukan peraturan yang bermasalah, substansi RUU ini juga dinilai kurang memadai.
Andi Muttaqien menyebutkan bahwa sebagai negara yang menyepakati Konvensi Keanekaragaman Hayati pada konferensi COP 15 di Montreal, Indonesia seharusnya memanfaatkan momentum ini untuk menuangkan komitmen perlindungan keanekaragaman hayati dalam RUU KSDAHE. “Ada pergeseran paradigma konservasi yang tertuang dalam konvensi ini, salah satunya peran masyarakat adat dalam perlindungan keanekaragaman hayati. Masyarakat adat memiliki pengetahuan lokal dan peranan krusial yang mampu menjaga alam dan biodiversitas,” jelas Andi.
Muhamad Satria Putra, Koordinator Hukum dan Advokasi Garda Animalia, menyoroti penggunaan frasa “dilindungi” dan “tidak dilindungi” dalam undang-undang baru ini. “Frasa tersebut mengancam keberlangsungan jenis tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi di alam liar, karena tidak dilindungi, perburuan dan perdagangan tumbuhan serta satwa liar akan tetap marak,” kata Satria. Ia menambahkan bahwa Indonesia tidak memiliki data pasti mengenai populasi tumbuhan dan satwa liar, sehingga perlindungan yang diberikan sering kali tidak memadai.
Ayut Enggeliah dari Perkumpulan Sawit Watch mengkritik pengaturan fungsi kawasan Areal Preservasi dalam RUU KSDAHE. “Ketentuan pemegang hak atas tanah di Areal Preservasi wajib melakukan kegiatan konservasi di tanah mereka. Jika tidak, hak atas tanah akan dicabut kembali. Ini berpotensi mengatur secara sentralistik dan dapat menyebabkan konflik seperti yang terjadi antara masyarakat adat dan taman nasional,” ungkap Ayut.
Juru Kampanye Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga, menekankan pentingnya kualitas undang-undang yang mampu menjawab permasalahan lingkungan dan krisis iklim ke depan. “Data FWI menunjukkan 90 persen kerusakan sumber daya alam berupa hutan dan ekosistem penting lainnya terjadi di luar kawasan konservasi. Publik membutuhkan kebijakan yang bisa melindungi sumber daya alam dari eksploitasi,” tegas Anggi.
Pertemuan ini menandai pentingnya revisi mendalam pada RUU KSDAHE untuk benar-benar melindungi keanekaragaman hayati Indonesia dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat adat, dalam proses perencanaan dan implementasi.