Raja Belanda Minta Maaf atas Perbudakan di Masa Lalu
Berita Baru, Jakarta – Dalam upacara peringatan 160 tahun penghapusan perbudakan secara hukum, Raja Belanda, Willem-Alexander, mengucapkan permintaan maaf atas keterlibatan negaranya dalam praktik perbudakan yang berdampak hingga saat ini.
“Di hari ini ketika kita mengenang sejarah perbudakan di Belanda, saya meminta maaf atas kejahatan terhadap kemanusiaan ini,” ujar Willem dalam pidatonya, seperti dikutip dari Reuters pada Minggu (02/7/2023).
Ia menyatakan bahwa rasisme masih menjadi masalah yang terus ada di masyarakat Belanda saat ini, dan tidak semua orang akan mendukung permintaan maafnya.
Namun, Raja Willem-Alexander menambahkan, “Waktu telah berubah dan Keti Koti… rantai itu telah benar-benar diputuskan.” Pernyataannya disambut baik oleh hadirin yang hadir di Monumen Perbudakan Nasional, Oosterpark, Amsterdam.
‘Keti Koti’ adalah istilah dalam bahasa Suriname yang secara harfiah berarti ‘memutuskan rantai’. Tanggal 1 Juli diperingati sebagai hari pembebasan perbudakan dan perayaan kebebasan manusia.
Perbudakan secara resmi dihapuskan di Suriname dan wilayah-wilayah lain yang dikuasai oleh Belanda pada 1 Juli 1863, namun praktik perbudakan baru benar-benar berakhir pada tahun 1873 setelah masa transisi selama 10 tahun.
Dalam pidato emosionalnya di Oosterpark, Willem-Alexander, yang dihadiri oleh warga dan tamu undangan, mengakui, seperti yang dilaporkan oleh Euro News, “Hari ini saya berdiri di depan kalian. Hari ini, sebagai seorang raja dan sebagai anggota pemerintahan, saya meminta maaf atas diri saya sendiri. Saya merasakan beban kata-kata ini di hati dan jiwa saya.”
Willem-Alexander juga mengakui bahwa tidak semua orang di Belanda akan mendukung permintaan maaf yang telah dia sampaikan. Oleh karena itu, dia mengajukan panggilan untuk persatuan.
“Tidak ada rencana pasti untuk proses penyembuhan, rekonsiliasi, dan pemulihan,” katanya. “Kita bersama-sama berada di wilayah yang belum dipetakan. Jadi mari kita saling mendukung dan membimbing.”
Pada kunjungan ke Indonesia pada tahun 2020, Willem-Alexander telah meminta maaf atas “kekerasan yang berlebihan” selama masa kolonialisme Belanda di Nusantara. Pada bulan Desember, Perdana Menteri Belanda juga mengakui tanggung jawab negaranya dalam perdagangan budak di Atlantik dan meminta maaf atas perbudakan tersebut.
Meskipun demikian, Pemerintah Belanda tidak berencana untuk membayar reparasi, sebagaimana yang direkomendasikan oleh panel penasihat pada tahun 2021.
Sebuah penelitian yang didanai oleh pemerintah Belanda dan dipublikasikan bulan lalu mengungkapkan bahwa negara tersebut mendapatkan keuntungan hingga setidaknya 600 juta dolar AS dari kolonialisme pada periode 1675-1770. Keuntungan tersebut sebagian besar diperoleh melalui Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) melalui perdagangan rempah-rempah.
Selain itu, sebuah komisi independen saat ini sedang melakukan penyelidikan terkait peran keluarga kerajaan Belanda dalam sejarah kolonialisme. Hasil dari investigasi tersebut diharapkan akan tersedia pada tahun 2025.