7 Catatan Penting INSP!R Indonesia untuk Permenaker 4/2023
Berita Baru, Jakarta – Yayasan Perlindungan Sosial Indonesia (INSP!R Indonesia) mengapresiasi kehadiran Permenaker no. 4 tahun 2023 yang menaikan manfaat perlindungan bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI). Namun demikian, INSP!R Indonesia tetap memberikan catatan kritis terhadap pengganti Permenaker Permenaker no. 18 tahun 2018 itu.
Ketua Presidium INSPIR Indonesia Yatini Sulistyowati menyebut, Permenaker 4/2023 masih memposisikan pembayar iuran jaminan sosial adalah PMI, padahal Pasal 30 UU No.18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) mengamanatkan Pekerja Migran Indonesia tidak dapat dibebani biaya penempatan.
Menurut Yatini Sulistyowati, amanat Pasal 30 UU PPMI dioperasionalkan oleh Pasal 3 Peraturan BP2MI no. 9 tahun 2020 yang mengamanatkan PMI tidak dapat dibebani Biaya Penempatan, yang salah satunya adalah biaya jaminan sosial PM.
“Tentunya ketentuan di Permenaker no. 4 Tahun 2023 ini bertentangan dengan Pasal 30 UU PPMI junto Pasal 3 Peraturan BP2MI no. 9 tahun 2020. Harusnya yang membayar iuran jaminan sosial PMI adalah Pelaksana Penempatan yaitu Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia atau BP2MI (yang melaksanakan penempatan PMI secara G to G),” Yatini Sulistyowati dalam keterangan tertulisnya yang diterima Beritabaru.co, Minggu (5/3).
Kedua terkait pemberian bantuan biaya perawatan dan pengobatan akibat Kecelakaan Kerja di negara tujuan penempatan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan dengan maksimal sebesar Rp 50 juta. INSP!R Indonesia menilai pembatasan pembiayaan perawatan ini akan diperhadapkan pada pemulihan PMI korban kecelakaan kerja. Bila PMI korban kecelakaan kerja yang dirawat di negara tujuan penempatan membutuhkan pembiayaan lebih dari Rp. 50 juta.
“Siapa yang akan menanggung biaya tersebut? Bila PMI yang membiayai tentunya ini akan sangat menyulitkan PMI,” kata Yatini Sulistyowati.
Menurutnya, ketentuan pembatasan ini berbeda dengan pembiayaan korban kecelakaan kerja bagi peserta Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) di dalam negeri yang dibiayai tanpa pembatasan biaya. Bahkan ada peserta JKK yang mengalami kecelakaan kerja terus dibiayai sampai miliaran rupiah.
“Mengacu pada PP no. 82 tahun 2019, pembiayaan kuratif bagi peserta yang mengalami kecelakaan kerja diberikan sampai peserta pulih,” katanya.
Ketiga, Pada PP No. 82 tahun 2019, bagi peserta JKK yang mengalami kecelakaan kerja pada saat proses perawatan hingga pemulihan yang menyebabkan peserta tersebut tidak mampu bekerja, maka peserta korban kecelakaan kerja tersebut mendapatkan Santunan Tidak Mampu Bekerja (STMB) yang nilainya 100 persen dari upah selama 12 bulan dan bila prosesnya lebih dari setahun maka peserta mendapatkan 50 persen dari upah.
“Ketentuan tentang STMB ini tidak diatur di Permenaker no. 4 Tahun 2023. Kehadiran STMB ini akan membantu ekonomi PMI yang mengalami kecelakaan kerja,” ujarnya.
Catatan keempat, Bagi PMI yang mengalami cacat total dan tidak bisa kerja kembali atau PMI yang meninggal, maka maksimal dua anak PMI tersebut akan mendapatkan bantuan Beasiswa dari tingkat TK hingga Perguruan tinggi. Manfaat beasiswa ini juga diberikan kepada pekerja di Indonesia yang mengalami cacat total dan tidak bisa kerja kembali atau PMI yang meninggal. Bila manfaat beasiswa di perguruan tinggi untuk pekerja di Indonesia hingga 5 tahun, berbeda bagi anak PMI yang hanya mendapat manfaat 4 tahun di perguruan tinggi.
“Point 2, 3 dan 4 di atas merupakan bentuk diskriminasi bagi PMI. Seharusnya Permenaker no. 4 Tahun 2023 memastikan semua manfaat JKK di PP No. 82 tahun 2019 juga diberikan kepada PMI. Tidak boleh ada perbedaan perlakuan manfaat antara PMI dengan pekerja di dalam negeri,” katanya.
Kelima adalah tata cara pelaporan Kecelakaan Kerja kepada BPJS Ketenagakerjaan yang diatur di Pasal 43 dan Pasal 46 Permenaker no. 4 tahun 2023 tidak membuka ruang bagi Serikat Buruh Migran, LSM buruh migran atau masyarakat untuk melaporkan terjadinya kecelakaan kerja yang dialami PMI, baik sebelum, selama dan setelah bekerja.
“Untuk memudahkan dan mempercepat penanganan PMI yang mengalami kecelakaan kerja seharusnya Permenaker no. 4 ini membolehkan Serikat Buruh Migran, LSM buruh migran atau masyarakat melaporkannya ke BPJS Ketenagakerjaan. Dari laporan tersebut BPJS Ketenagakerjaan segera meresponnya sehingga PMI yang mengalami kecelakaan kerja segera ditangani,” katanya.
Keenam, Permenaker no. 4 tahun 2023 memuat tentang Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), namun Permenaker tidak mengatur manfaat JKN bagi PMI. Hal ini bertolak belakang dengan isi INPRES no. 1 tahun 2022 yang menginstruksikan Kepala BP2MI untuk mewajibkan PMI yang bekerja di luar negeri kurang dari 6 bulan untuk menjadi peserta aktif di Program JKN selama berada di luar negeri.
“Menjadi peserta aktif artinya PMI harus membayar iuran JKN. Namun kepesertaan aktif di JKN bagi PMI yang bekerja kurang dari 6 bulan di luar negeri tidak disertai manfaat JKN yang bisa diakses PMI di luar negeri. Tentunya PMI pun membutuhkan penjaminan ketika mengalami sakit di luar negeri,” jelasnya.
“Permenaker no. 4 ini hanya menjamin PMI ketika mengalami kecelakaan kerja atau meninggal dunia. Oleh karenanya Pemerintah harus segera mengatur tentang manfaat JKN bagi PMI yang bekerja di luar negeri, dan hal ini dapat dimuat pada revisi Peraturan Presiden no. 82 tahun 2018 yang sedang diproses revisinya oleh Pemerintah,” sambung Yatini Sulistyowati.
Terakhir, menurut INSP!R Indonesia, guna memastikan PMI yang pulang bekerja dari luar negeri untuk mendapatkan pelatihan, bantuan tunai, dan informasi pasar kerja, seharusnya Permenaker no. 4 Tahun 2023 juga membuka ruang bagi PMI mendapatkan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Tentunya PMI yang terkena PHK di luar negeri tidak boleh didiskriminasi dari Program JKP yang memang diperuntukan bagi pekerja yang mengalami PHK sehingga pekerja yang terPHK tetap mampu mempertahankan daya belinya, mendapatkan pelatihan dan informasi pasar kerja.
“INSP!R Indonesia mengapresiasi kehadiran Permenaker no. 4 tahun 2023 yang menaikan manfaat perlindungan bagi PMI, namun INSP!R Indonesia meminta agar Pemerintah tidak mendiskriminasi PMI untuk mendapatkan manfaat JKK dan JKm seperti yang diatur dalam PP No. 82 tahun 2019. Demikian juga PMI adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak konstitusional untuk memperoleh seluruh seluruh program jaminan sosial seperti JKN dan JKP,” pungkasnya.