Sekjen Opsi Soroti Permenaker Baru Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia
Berita Baru, Jakarta – Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Sekjen Opsi), Timboel Siregar menilai secara umum Permenaker No 4 tahun 2023 tentang Jaminan Sosial bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI), lebih baik dari Permenaker No 18 tahun 2018.
“Yaitu adanya peningkatan manfaat bagi PMI kita, baik sebelum berangkat, pada saat bekerja di Luar Negeri, hingga pada saat pulang ke tanah air. Patut kita apresiasi upaya Pemerintah untuk terus meningkatkan perlindungan bagi PMI kita,” kata Timboel Siregar, dalam keterangan catatanya yang diterima Beritabaru.co, Sabtu (4/3).
Menurutnya, Permenaker no. 4 ini meningkatkan manfaat jaminan sosial Ketenagakerjaan khususnya Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm). Namun disisi lain, walaupun program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) disebut dalam Permenaker ini, masih terdapat beberapa koreksi.
“Permenaker ini belum mengatur tentang manfaat JKN bagi PMI, khususnya bagi PMI yang sedang bekerja di luar negeri. Sebaiknya ketentuan tentang JKN bagi PMI diatur dalam revisi Peraturan Presiden no. 82 tahun 2018 sehingga PMI pun terlindungi ketika sakit, bukan karena kecelakaan kerja,” katanya.
Selain itu Timboel mendapati program Jaminan Hari Tua (JHT) yang juga disebut di Permenaker no. 4 tahun 2023 masih belum diwajibkan, setiap PMI hanya disebut dapat mengikuti JHT. Menurutnya, Program JHT menjadi kebutuhan bagi PMI, agar PMI yang tidak mampu bekerja lagi karena alasan usia bisa memiliki tabungan untuk menjamin kesejahteraannya di masa tua.
“Saya berharap PMI kita tidak masuk dalam kemiskinan di masa tuanya,” tegas Timboel.
Dengan kondisi yang berbeda di setiap negara tujuan, lanjut Timboel, tentunya kewajiban mengikuti program JHT juga dilakukan secara bertahap yaitu dimulai dengan negara tujuan yang memberikan akses mudah PMI ke perbankan seperti Taiwan dan Hongkong.
“Dari total peserta aktif PMI di BPJS Ketenagakerjaan yaitu sebanyak 243.959 pekerja (data per Akhir Agustus 2022), sebanyak 50,31 persen bekerja di Taiwan, dan sebanyak 13,77 persen bekerja di Hongkong,” katanya.
Bagi Timboel terdapat hal yang menarik dalam Permenaker ini, yaitu iuran JKK dan JKm PMI tidak mengalami kenaikan, justru untuk PMI yang bekerja 12 bulan dan 6 bulan iurannya menurun, namun manfaat perlindungannya meningkat.
“Sebelumnya di Permenaker no. 18 Tahun 2018, iuran JKK dan JKm diseragamkan sebesar Rp. 370.000 (bila ditempatkan melalui pelaksana penempatan) dan Rp. 332.500 (untuk PMI perseorangan),” katanya.
Sementara itu, katanya, di Permenaker no. 4 Tahun 2023, untuk PMI yang ditempatkan melalui pelaksana penempatan yang bekerja 24 bulan iuran JKK dan JKm tetap sebesar Rp. 370.000, namun untuk PMI yang bekerja 12 bulan menjadi Rp. 226.500, dan untuk PMI yang bekerja 6 bulan sebesar Rp. 145.500.
Adapun bagi PMI Perseorangan iurannya Rp. 332.500, dan untuk PMI yang bekerja 12 bulan menjadi Rp. 189.000, dan untuk PMI yang bekerja 6 bulan sebesar Rp. 108.000.
“Ada manfaat yang meningkat nilainya, dan ada juga yang baru. Tentunya manfaat ini dikaitkan dengan manfaat JKK dan JKm yang diatur di PP no. 82 Tahun 2019,” katanya.
Ia lantas menjelaskan, pada Pasal 30 ayat (1) disebutkan Manfaat program JKK bagi PMI selama bekerja diberikan dalam bentuk pelayanan kesehatan yang terdiri atas perawatan dan pengobatan akibat Kecelakaan Kerja di negara tujuan penempatan; dan/atau pelayanan kesehatan lanjutan akibat Kecelakaan Kerja bagi PMI yang dipulangkan ke Indonesia oleh pemberi kerja.
Sebelumnya, di Permenaker No. 18 tahun 2018 hanya disebut perawatan dan pengobatan lanjutan akibat Kecelakaan Keija bagi Pekerja Migran Indonesia yang dipulangkan ke Indonesia oleh pemberi kerja. Ini artinya ketika PMI yang mengalami kecelakaan kerja dibawa ke Indonesia, baru mendapatkan penjaminan dari BPJS Ketenagakerjaan.
“Dengan ketentuan di Pasal 30 ayat (1) Permenaker no. 4 Tahun 2023 PMI yang mengalami kecelakaan kerja di negara penempatan tidak harus pulang ke Indonesia dulu untuk mendapatkan penjaminan biaya perawatan, tapi bisa dibiayai perawatannya di negara penempatan dengan biaya maksimal Rp. 50 juta per kasus kecelakaan kerja,” terang Timboel.
Selain itu, katanya, PMI yang mengalami kecelakaan kerja pun mendapat pelayanan Home Care maksimal Rp. 20 juta diberikan kepada Peserta paling lama 1 (satu) tahun sejak direkomendasikan untuk perawatan di rumah, yang sebelumnya tidak ada di Permenaker No. 18 tahun 2018.
“Manfaat santunan berupa uang kepada Calon PMI maupun PMI terkait penggantian biaya transportasi bagi PMI yang mengalami Kecelakaan Kerja juga naik, dengan mengacu pada PP No. 82 tahun 2019. Termasuk juga santunan berkala yang dibayarkan sekaligus apabila Peserta mengalami Cacat Total Tetap akibat Kecelakaan Kerja naik menjadi Rp12.000.000,00,” katanya.
“Biaya penggantian gigi tiruan juga naik menjadi paling banyak Rp 5 juta, yang sebelumnya hanya Rp. 3 juta. Ada penambahan manfaat yaitu penggantian alat bantu dengar paling banyak Rp. 2,5 juta dan penggantian biaya kacamata paling banyak Rp. 1 juta,” sambung Timboel.
Selain itu, juga bantuan uang bagi Calon Pekerja Migran Indonesia yang gagal berangkat bukan karena kesalahan Calon Pekerja Migran Indonesia naik menjadi sebesar Rp.10 juta, yang sebelumnya Rp. 7,5 juta. Bantuan uang bagi Pekerja Migran Indonesia yang terbukti mengalami pemerkosaan sebesar Rp. 50 juta
“Bantuan uang bagi Pekerja Migran Indonesia yang mengalami PHK akibat Kecelakaan Kerja dengan kondisi tidak meninggal dunia diberikan sesuai dengan tingkat masa kerja sebagai berikut: mulai saat bekerja sampai dengan kurang dari 6 bulan sebesar Rp2 juta, masa kerja 6 bulan sampai dengan kurang dari 12 bulan sebesar Rp3 juta; atau masa kerja 12 bulan atau lebih sampai dengan 1 bulan sebelum perjanjian kerja berakhir sebesar Rp. 5 juta,” terangnya.
Hal yang baru diatur juga, kata Timboel, adalah bantuan uang bagi PMI yang mengalami PHK bukan akibat Kecelakaan Kerja yang dilakukan sepihak oleh pemberi kerja bukan karena kesalahan PMI, dengan masa kerja terhitung sejak PMI mulai bekerja sampai dengan 1 (satu) bulan sebelum perjanjian kerja berakhir, diberikan sebesar Rp1,5 juta.
“Beasiswa diberikan kepada maksimal dua anak bila PMI mengalami kematian akibat kecelakaan kerja, atau kematian karena sakit dengan kepesertaan PMI minimal 3 tahun. Beasiswa diberikan dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi dengan perincian di tingkat TK sebesar Rp. 1,5 juta x 2 tahun, tingkat SD Rp. 1,5 juta x 6 tahun, tingkat SMP Rp. 2 juta x 3 tahun, tingkat SMA Rp. 3 juta x 3 tahun dan Perguruan Tinggi Rp. 12 juta x 4 tahun,” urainya.
Timboel kemudian menyebut, kenaikan manfaat JKK dan JKm di Permenaker no. 4 tahun 2023 seharusnya diikuti oleh kenaikan kepesertaan PMI di JKK dan JKM serta JHT. Kepesertaan aktif PMI di BPJS Ketenagakerjaan yang masih sebanyak 243.959 pekerja (data per Akhir Agustus 2022), masih jauh dibandingkan PMI yang masih bekerja di luar negeri yang memang sangat membutuhkan perlindungan.
“Proses sosialisasi dan edukasi kepada calon PMI maupun PMI, serta penegakkan hukum bagi pelaksana penempatan harus dilakukan dengan massif untuk memastikan seluruh PMI terlindungi di BPJS Ketenagakerjaan. Pemerintah cq. Imigrasi harus memastikan PMI yang akan berangkat bekerja ke luar negeri sudah menjadi peserta JKK dan JKm,” katanya.
“Untuk memastikan proses sosialisasi dan edukasi serta pelayanan kepada PMI sudah seharusnya ada perwakilan BPJS Ketenagakerjaan di negara penempatan, demikian juga untuk proses perpanjangan kepesertaan dan kemudahan klaim dari PMI,” pungkasnya.