Ketika Jabatan Menteri Disalahgunakan untuk Kepentingan ‘Nyapres’
Berita Baru, Jakarta – Jabatan menteri Kabinet Indonesia Maju berpeluang disalahgunakan bagi yang ingin menjadi calon presiden (Capres) pada Pemilu 2024. Akibatnya akan terjadi kelalaian dalam menjalankan tugasnya sebagai menteri.
“Putusan MK beberapa waktu lalu yang memperbolehkan menteri maju sebagai kandidat Presiden tanpa harus mengundurkan diri menimbulkan potensi pemanfaatan fasilitas negara atau program kementerian untuk kepentingan elektoral calon tersebut,” kata peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Ester dalam konfrensi pers di Jakarta, Jumat (6/1/2022).
ICW mencontohkan, terkait tindakan Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan yang juga merupakan Ketua Umum PAN, sudah terang-terangan melakukan penyelewengan jabatan dengan mengimbau masyarakat untuk memilih putrinya dalam pemilu legislatif mendatang.
“Alih-alih meminta mereka mundur dan menanggalkan jabatannya, Presiden malah membiarkan para menterinya maju sebagai peserta pilpres,” cetus Lalola.
Selain itu, potensi pelanggaran hukum yang dilakukan peserta pemilu selama 2023 harus turut diwaspadai. Menurut Lalola, praktik lancung yang menjadi tantangan bagi pemangku kepentingan pemilu adalah merebaknya politik uang.
“Pola tindakan menyimpang itu terbilang selalu sama. Pertama, praktik suap yang dilakukan calon anggota legislatif kepada partai politik. Pada bagian ini, politik uang digunakan untuk memperoleh dukungan partai dan memperebutkan nomor urut,” ungkap Lalola.
Kedua, politik uang saat masa kampanye. Hal ini dianggap lazim oleh calon anggota legislatif dengan cara memberikan uang atau barang kepada masyarakat dengan harapan dapat dipilih saat waktu pemungutan suara.
Dia menyebut, pada proses pemilih, tingkat kerawanan terhadap politik uang dikhawatirkan meningkat pada 2023. Dengan kondisi perekonomian pasca menghadapi wabah Corona Virus Disease 19 (Covid-19), ditambah ancaman resesi, bukan tidak mungkin meningkatkan potensi masifnya penerimaan politik uang oleh masyarakat.
“Mengutip hasil survei Indikator Politik Indonesia pada akhir tahun 2020, praktik politik uang masih dianggap wajar oleh sebagian besar masyarakat,” pungkasnya.