Dirgahayu Pergerakan: Sebuah Refleksi atas Keberadaan yang Tiada | Oleh: Idrus
Idrus
Sebenarnya saya agak ragu untuk menulis, tapi tidak seutuhnya gerogi- ini hanya sebuah tulisan atas keadaan yang tiada―sebuah fenomena kerja aktivisme yang rawan mengidap penyakit di usia rentannya, mungkin hemat saya ini sebabnya PMII berada pada fase kemandegkan dan abstain dalam problem sosial.
Ini bukan tulisan yang mengajak para pembaca untuk menelaah bagaimana konstalasi politik dunia atas invasi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina, bukan juga tulisan yang membahas kritik wacana agama―di tengah kehampaan ruang produksi wacana kiri islam, atau sebuah analisa atas kritik ekonomi-politik yang semakin kapitalistik. Sekali lagi bukan, ini hanya catatan humor di tengah euforia kelahiran PMII yang ke-62. “Adil dan makmur kuperjuangkan”.
Apa Transformasi Gerakannya? Peradaban Seperti Apa yang Dirawat? Tanya seorang Kader
Belakangan, kita sering dihadapkan pada realitas ketertindasan akibat dampak dari sistem ekonomi-politik yang semakin kapitalistik, mengakibatkan petani tercerabut dari tanah-tanah garapan melalui kekerasan (Aparratus represif), misal fenomena di wadas yang nyaris menjadi kajian-mendadak di setiap kelompok intelektual, sebenarnya ini satu dari sebagian besar konflik agraria yang sedang terjadi―akibat ketidakadilan penguasaan sumber-sumber agraria dan ketimpangan struktur penguasaan sumber agraria.
Wajar saja kalau organisasi pergerakan ini memiliki tradisi mengkaji setelah kejadian dan terjebak pada perkara yang Aksidental kurang substantif, karena tidak disiplin-ajeg untuk mengkaji dan memproduksi wacana. Sehingga tidak mampu memahami gejala-gejala realitas sosial yang terjadi―secara sistemik di bawah sistem kapitalisme nasional-global.
Dalam manifestasi gerakannya, PMII sering kali abstain―pun ia memilih hadir di tengah problem sosial, semisal tidak konsisten mulai dari level pemikiran sampai pada praksis gerakannya―bagaimana bisa di satu sisi PMII ingin hadir dan terlibat pada realitas ketimpangan yang terjadi di wadas, di sisi lain bersamaan dengan itu pula berembuk dengan kekuasaan untuk memperkuat praktik pembangunan yang berpotensi merampas ruang hidup dan alih fungsi lahan yang menyebabkan krisis dan ketimpangan, sebut saja rembukan projek Ibu Kota Negara (IKN). Hemat saya, ini mungkin manifestasi paradigma PMII hari ini, di satu sisi harus kritis, di sisi lain juga transformatif.
Pada persoalan yang lebih akut, misal merespon fenomena Banjir di Kota Malang, sering kali PMII terjebak pada model gerakan yang klise – mengkonsolidasi gerakan di bahu jalan, mengumpulkan receh dari kardus kotak untuk di konversi menjadi beras, minyak, dan bahan-bahan pangan lainnya―lalu didistribusikan pada korban banjir, mungkin efisien untuk membantu korban banjir dari kelaparan tapi kurang efektif untuk menjawab persoalan.
Pertanyaannya adalah apakah gerakan karikatif ini mampu menjawab persoalan-pokok? Seharusya kesadaran ini mulai bergeser, dengan melakukan analisa-sosial dari hulu-hilir sebab penambangan di kawasan hutan-Cangar dan alih-fungsi lahan-Batu sampai pada konteks hilir seperti perubahan tata ruang yang menyebabkan banjir di Malang. semua ini tidak lepas dari basis materi dalam relasi ekonomi-politik, gagal membedakan gejala buatan manusia (antrpogenik)dan gejala alamiah (Kosmogenik). Beruntung PMII selama ini, memiliki modal amal shalih―sebagai bungkus yang menutupi ke-abstain-an pada realitas ketertindasan yang sering dijadikan jargon.
Pada titik ini PMII perlu bergeser dari ketaksadarannya, bahwa ia betul-betul hidup di bawah rezim kapitalisme nasional-global, mampu melihat bahwa rentetan ketertindasan merupakan akibat dari sebab sistem ekonomi-politik yang kapitalistik―diamana setiap praktik kekuasaan akan cenderung mengeksploitasi sumber-sumber agraria, merampas ruang hidup, menyebabkan krisis ekologi berkepanjangan seperti banjir dan lainnya, pada puncaknya rakyat yang menanggung kesemuanya. Maka dari itu, PMII harus berada pada keberanian membawa misi mulia-nya untuk membebaskan umat manusia dari jurang kemelaratan dan kemiskinan dengan tetap setia di front garis perjuangan bersama rakyat.
Citra Diri PMII di Usia yang Riskan mengidap segala Penyakit
Ini bagian yang enggan―untuk dibaca, fenomena di atas merupakan satu dari banyak hal yang tidak mampu dibaca secara utuh oleh PMII sebagai satu entitas organisasi intelektual. Bisa dikatakan kehilangan citra diri, atau mungkin saja jika di ilustrasikan, citra diri PMII seperti manusia yang besar kepalanya, kecil tubuh―kakinya, dan antena di atas kepalanya. Terlalu sarkas tapi inilah adanya.
Pertama, banyak kader-intelek yang lahir dari rahim PMII, namun tidak memiliki kehadiran yang ajeg-hampa dalam menjawab kesenjangan sosial, seakan ilmu dan amal saling menegasikan satu sama-lain. padahal dalam islam, Iman-Ilmu-Amal, keyakinan terhadap Kalam tuhan sebagai iman bukan saja dihafalkan melainkan harus ditarik (transformasi) pada wilayah praksis―mampu beradaptasi pada problem sosial. Maka dari itu, Islam tidak pernah membenarkan suatu realitas umat muslim yang hidup di atas kesenjangan dan kemelaratan umat-muslim lainya.
Kedua, banyak intelektual-handal tapi melacurkan diri pada kekuasan.
Ketiga, seorang intelektual menara gading yang sibuk menegasikan kerja-kerja voluntarisme yang dianggapnya kurang revolusioner. Figur intelektual semacam ini yang disebut V.I Lenin sebagai Radikal-Kemayu. Seorang intelektual yang sibuk men-tashih pengetahuan tanpa harus repot terlibat dalam urusan-urusan masyarakat yang berada pada garis-kerentanan. Fenomena seperti ini dianggap sebagai realitas yang kerap kali terjadi pada kalangan aktivis―mengidap penyakit kekanak-kanakan (Leftism infantile disease) yaitu suatu heroisme romantis. Mereka menganggap revolusi (Terjebak pada jargon) akan rampung ketika aku yang berjuang. Aku-isme seperti inilah yang justru merusak, karena perjuangan jangka panjang―akhirnya ditundukkan pada kebutuhan pribadi seorang pemimpin yang tidak lama jangka hidupnya.
Dalam arti yang lebih sederhana, kita sampai pada satu refleksi bahwa kerja aktivisme yang dibangun masih terkooptasi oleh generasi sebelumnya yang telah lama mengkroni―hegemonik atau pada titik ketaksadaran kita seoalah dikendalikan seperti robot suatu realitas sosial dalam imajinasi Yuval, akibat pesatnya kecerdasan buatan (Artificial Intellegent). Maka dari itu, kerja kolektivisme seorang intelektual harus bertransformasi dan melepaskan diri pada belenggu dan kesadaran semu sebagai alternatif di tengah problem sosial kemasyarakatan, dan memilih pergerakan sebagai jalan pembebasan―tidak terjebak dengan realitas semu yang silau. Di sisi lain, selama gerakan intelektual saling menegasikan, selama itu pula masing-masing saling sibuk merumuskan agenda sendiri, realitas civil politic jaga jarak dengan problem kemasyarakatan, di satu sisi kesadaran rakyat belum berada pada titik aksi massa, sedangkan kesadaran PMII masih berada pada massa aksi yang sibuk piknik demokrasi di lapangan.
Penulis merupakan kader PMII Kota Malang