Bertambah, Bank Dunia Siapkan Paket Bantuan Rp21 Triliun untuk Ukraina
Berita Baru, Warsawa – Bank dunia siapkan paket bantuan Rp21 triliun untuk Ukraina yang sedang dilanda perang, kata Presiden Bank Dunia David Malpass, Selasa (12/4).
Sebelumnya, pada pertengahan Maret, Bank Dunia berencana akan menyediakan dana sekitar Rp10 triliun ($723 juta). Namun jumlah tersebut naik dan Malpass tidak merinci sumber tambahan Rp7,18 triliun ($500 juta) untuk Ukraina.
Paket bantuan $1,5 miliar atau sekitar Rp21 triliyun itu termasuk pembayaran Rp14 triliun ($1 miliar) dari dana pemberi pinjaman pembangunan untuk negara-negara termiskin.
Berbicara di Warsawa, David Malpass mengatakan paket itu dimungkinkan dengan persetujuan sebelumnya pada Senin (11/4) sebesar Rp14 triliun dalam bantuan Asosiasi Pembangunan Internasional (IDA) oleh negara-negara donor dan penerima serta pembayaran IDA Rp1,4 triliun ($100) juta ke negara tetangga Moldova.
Dalam sambutannya menjelang Pertemuan Musim Semi Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional minggu depan, Malpass mengatakan dukungan bank membantu Ukraina menyediakan layanan penting, termasuk membayar upah pekerja rumah sakit, pensiun dan program sosial.
“Bank Dunia didirikan pada tahun 1944 untuk membantu Eropa membangun kembali setelah Perang Dunia II. Seperti yang kami lakukan saat itu, kami akan siap membantu Ukraina dengan rekonstruksi ketika saatnya tiba,” kata Malpass, dikutip dari Reuters.
Rencana tersebut masih membutuhkan persetujuan penuh oleh dewan direksi Bank Dunia dalam beberapa minggu mendatang, kata juru bicara Bank Dunia.
Bantuan tersebut datang di atas sekitar Rp13 triliun ($923 juta) dalam pembiayaan pencairan cepat yang disetujui oleh Bank Dunia bulan lalu, yang juga termasuk kontribusi negara donor.
Malpass mengatakan Bank Dunia berhubungan dekat dengan pihak berwenang Ukraina untuk memberikan dukungan dan bekerja untuk membantu para pengungsi Ukraina dan negara-negara yang menampung mereka.
Dia mengatakan Bank Dunia sedang menganalisis dampak global perang di Ukraina, termasuk lonjakan harga pangan dan energi, dan “mempersiapkan respons krisis lonjakan yang akan memberikan dukungan terfokus untuk negara-negara berkembang.”