Pernikahan Beda Agama di Indonesia: Rintangan, Peluang, dan Harapan
Berita Baru, Nasional – Pernikahan beda agama menjadi topik yang tak terhindarkan beberapa hari terakhir. Awal bulan ini, foto pernikahan seorang perempuan berhijab di sebuah gereja viral di media sosial. Pernikahan staf khusus presiden Ayu Kartika Dewi baru-baru ini juga disorot warga dunia maya.
Anggota DPR RI dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Luluk Nur Hamidah menyebutkan, situasi masyarakat yang majemuk dan terbuka pada perubahan memungkinkan terjadinya pernikahan beda agama. Secara statistik, jumlah pasangan yang menikah berbeda agama pun kian bertambah.
“Ini menjadi kenyataan hidup sehari-hari bagi umat beragama, bahwa semakin terbuka ruang pertemuan sosial dari berbagai iman yang berbeda, itu tidak bisa dihindarkan,” ujarnya dalam talkshow bertajuk “Tantangan itu Datang dari Negara” yang digelar Katolikana pada Senin (21/3) lalu.
Pertemuan itu juga tidak hanya bersifat kepentingan fungsional seperti pendidikan dan pekerjaan, melainkan ruang pertemuan batin dan emosional. Luluk menambahkan, orang muda cenderung berani ambil resiko meski konsekuensinya cukup berat, baik adanya resistensi dari keluarga, lingkungan sosial, juga institusi keagamaan yang dalam konteks agama Islam mengharamkan pernikahan beda agama.
Pengalaman Pernikahan Beda Agama
Pernikahan yang dilangsungkan oleh dua orang berbeda agama sebenarnya berkendala, bukan hanya karena cenderung mendapatkan penghakiman publik dari sudut pandang agama, tapi juga hambatan di ranah pencatatan sipil.
Dalam talkshow tersebut, Ketua Presidium I Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Pusat Engkus Ruswana membagikan pengalaman saat kesulitan mengawinkan anak perempuannya, seorang penghayat kepercayaan, dengan seorang pria Muslim.
Proses pencatatan pernikahan mulai terhambat ketika Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) setempat mensyaratkan harus ada penetapan pengadilan. Mengikuti aturan yang berlaku, Engkus pun mengajukan kepada pengadilan negeri. Namun keputusan pengadilan menyatakan pihaknya tidak berwenang mengawinkan.
Setelah melakukan advokasi yang cukup lama, hakim terkait menyatakan bahwa dirinya tidak akan mengizinkan pernikahan beda agama.
Sulitnya menikah beda agama di negeri ini menjadi perhatian Engkus. “Saya melihat Indonesia mengalami kemunduran dari sisi humanisme maupun dalam melaksanakan kehidupan berketuhanan. Karena kalau kita lihat sejarah misalnya, perkawinan beda agama sudah dilaksanakan sejak abad ke-6,” ujarnya.
Menurut Engkus, pernikahan beda agama merupakan peristiwa yang arif. “Karena yang dikawinkan bukan agama sebetulnya, yang kawin itu ‘kan orang. Kalau orang ‘kan bisa ada penyesuaian. Kemudian [pernikahan] itu ‘kan menyatukan rasa cinta yang datang dari Tuhan. Dari kesucian. Kenapa dihalangin?” kata Engkus.
Posisi Hukum Negara dalam Pernikahan Beda Agama
Lalu pertanyaannya, bagaimana negara memfasilitasi pilihan menikah beda agama dengan tetap melindungi hak warga negaranya? Luluk menekankan bahwa negara harus menjamin hak warga negara, yang mana dalam konteks pernikahan beda agama adalah hak untuk dicatatkan pernikahannya oleh negara. “Ini ‘kan tidak dianggap kriminal, jadi tidak ada sanksi. Jangan sampai sesuatu dianggap haram lalu dikriminalisasi,” tandasnya.
Dalam sisi instrumen hukum, Luluk menggarisbawahi adanya ambiguitas dari produk hukum yang ada terkait dengan pernikahan beda agama, misalnya dalam UU Perkawinan yang selama ini pun mendapatkan kritik terkait pernikahan usia dini dan subordinasi kedudukan perempuan dalam pernikahan, hingga adanya multitafsir terkait aturan menikah beda agama.
“Karena memang tidak secara eksplisit dan apa adanya berupa kalimat yang menyatakan ‘menikah beda agama dilarang oleh negara’, ‘kan tidak seperti itu. Ini kemudian membuat tafsir yang agak berbeda dan menjadi alasan mengapa yurispredensi dari Mahkamah Agung menjadi dasar yang jauh lebih dipegang daripada UU No. 74 terkait pernikahan beda agama,” ujarnya.
Luluk juga menyebutkan, jika aspek yuridis menjadi dasar bagi hakim untuk menetapkan permohonan pelaksanaan pernikahan beda agama, maka ada beberapa aturan yang memberi ruang pernikahan beda agama.
Dalam Pasal 35 UU No. 23 tentang Administrasi Kependudukan, terdapat pengaturan pencatatan perkawinan beda agama. Pada Pasal 35 huruf a UU Adminduk tersebut menyatakan, bahwa pencatatan perkawinan berlaku juga bagi perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan.
Sementara yang dimaksud “perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.
Lebih substansial lagi, Luluk menyebutkan pada Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tertulis bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. “Maka tidak ada seorang pun yang dapat menghalangi apabila ada dua orang akan melaksanakan perkawinan,” ujarnya.
Selain itu, Putusan Mahkamah Agung No. 1400K/1986 tentang Pencatatan Perkawinan Berbeda Agama sebagai yurispredensi menjadi instrumen yang paling sering dijadikan referensi. “Perbedaan agama bagi calon suami istri tidak merupakan larangan bagi mereka untuk melaksanakan perkawinan,” Luluk membacakan putusan tersebut.
Jalan Tengah: Penguatan Instansi Pelaksana
Dalam kesempatan tersebut, Luluk menegaskan bahwa perkara konstitusi jika kerap ditabrakkan dengan hukum agama pasti akan sering terjadi benturan. Jalan tengahnya adalah pengadministrasian dan pencatatan sebagai mekanisme untuk mengakui pernikahan yang sah menurut negara. Dengan sahnya perkawinan, maka hak-hak yang melekat dapat dilindungi UU.
“Kita nggak bicara sah atau tidak menurut agama dan Tuhan, itu biar urusannya Tuhan,” tukasnya.
Senada dengan Luluk, Mantan Kadis Dukcapil DKI Edison Sianturi menyetujui bahwa dalam rangka merespon ambiguitas dan multitafsir dalam aturan yang saat ini digunakan, penting untuk memperkuat instansi pelaksana dengan diberikan kewenangan melalui undang-undang.
Menurut Edison, selama ini Dinas Dukcapil bekerja sesuai tupoksi, bukan menikahkan atau memberikan sertifikat perkawinan melainkan mencatatkan bukti pernikahan di catatan negara.
Engkus menambahkan, berpijak pada undang-undang yang kini telah ada salah satunya hak memeluk agama pada Pasal 28E UUD 1945, maka seharusnya negara tidak menghalangi hak menikah warga.
“Kalau frasa setiap orang [dilindungi haknya], berarti dalam satu keluarga diperbolehkan beda agama atau keyakinan. Maka negara jangan menghalangi, kok harus ditetapkan lagi oleh pengadilan. Kalau konstitusinya bilang semua orang berhak, jangan dihalangi,” ujarnya.
Simak diskusi lengkapnya pada tautan di bawah ini.