Penyalin Cahaya: Ironi Film Tentang Penyintas Kekerasan Seksual
Berita Baru, Entertainment – Penyalin Cahaya rilis di Netflix pada Kamis (13/1) kemarin. Namun tentu saja, menonton film tentang penyintas kekerasan seksual yang ditulis oleh terduga pelaku pelecehan tidak akan sepenuhnya nyaman. Justru, film ini berpotensi membuatmu merasa gelisah.
Berikut sinopsis dan ulasannya untukmu.
Sinopsis Penyalin Cahaya
Suryani atau Sur (Shenina Cinnamon) bergabung dalam grup teater Mata Hari di universitasnya sebagai perancang website. Ketika pementasan terbarunya sukses, Mata Hari mengadakan pesta pembubaran panitia di rumah Rama (Giulio Parengkuan), penulis cerita teater tersebut. Untuk pertama kalinya, Sur datang ke pesta dan mabuk di sana.
Keesokan harinya, hidupnya berubah total. Ia diusir dari rumah karena ketahuan mabuk, dan nyaris kehilangan beasiswa karena foto selfie-nya tersebar di jagat maya. Sur meminta bantuan Amin (Chicco Kurniawan), sahabatnya sejak kecil yang bekerja sebagai tukang fotokopi di dekat kampus.
Sur melakukan semuanya untuk mengumpulkan bukti, hingga meretas ponsel dan e-mail anggota Mata Hari. Namun apa yang ia dapatkan setelah itu, lebih dari bayangannya.
Ulasan Penyalin Cahaya
Penyalin Cahaya atau Photocopier telah memborong nyaris semua penghargaan di berbagai kategori pada ajang Festival Film Indonesia 2021. Namanya juga mentereng di kancah internasional sejak diputar di Festival Film Internasional Busan tahun lalu.
Wajar, karena film ini unggul di banyak aspek. Sinematografi, penyutradaraan, plot cerita, hingga akting pemerannya yang natural dan mengagumkan. Mesin fotokopi sebagai judul dalam film ini memegang poin penting ketika Sur mulai menemukan titik terang dari potongan data yang ia punya.
Film ini menggambarkan bagaimana patriarki dan turunannya, antara lain kontrol terhadap keluarga, kencenderungan menyalahkan korban, kesehatan mental pada pria, serta penyalahgunaan kekuasaan, berdampak pada kehidupan Sur.
Penyalin Cahaya juga mempertontonkan bagaimana penyintas tak dipercaya oleh pihak-pihak berwenang, dalam hal ini Dewan Etik Kampus, panitia pemberi beasiswa, juga orangtua Sur sendiri. Hingga akhirnya, Sur harus mengumpulkan sendiri bukti pelecehan dan mengalami peristiwa yang lebih mengerikan dari dugaannya.
Yang mungkin terasa janggal adalah, film ini tidak menampilkan bagaimana perasaan Sur, atau cara Sur mengolah emosi dan traumanya akibat kasus yang ia alami. Ia hanya terus-menerus mencari barang bukti. Sebagai korban, ia diminta untuk menekuri kembali jalan yang ingin ia enyahkan.
Di sisi lain, bagian tersebut bisa jadi mencerminkan kepayahan yang harus ditelan korban demi mengupayakan akses keadilan; keadilan yang sebenarnya sudah jadi hak mereka. Selain itu, sebagian penonton menganggap Sur adalah perempuan kuat dan pantang menyerah.
Namun disayangkan, karena menonton film ini tak ayal membuat saya membayangkan, apakah tindakan pelecehan yang terjadi dalam Penyalin Cahaya merupakan pengalaman penulis sekaligus pelaku pelecehan berinisial HP itu sendiri?
Sulit untuk memisahkan kreator dari karyanya. Karya bisa jadi cerminan kegelisahan para kreator, lalu bagaimana bisa seorang pelaku pelecehan menulis cerita tentang pelecehan seksual? Hal-hal itu membuat pengalaman menonton Penyalin Cahaya menjadi tidak nyaman dan menggelisahkan.
Hadirnya kasus ini benar-benar membawa kita kembali pada pertanyaan, apakah kita harus memisahkan kreator dari karyanya.
Simak trailer filmnya di bawah ini.