Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Akademisi

92 Akademisi Menolak Omnibus Law



Berita Baru, Jakarta – Diterapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akibat semakin merebaknya corona virus disease 2019 atau COVID-19 tidak mempengaruhi keinginan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk terus membahas RUU Cipta Kerja atau yang lebih dikenal dengan RUU Omnibus Law.

Pernyataan yang disampaikan pimpinan DPR RI dalam masa sidang di penghujung bulan Maret 2020 tersebut sontak mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan, mulai kelompok pekerja, petani, miskin kota, masyarakat adat, mahasiswa, pegiat hak asasi manusia (HAM) dan akademisi. Penolakan berbagai kelompok tersebut sebenarnya sebagai reaksi lanjutan dari penolakan-penolakan yang telah mereka lakukan sebelumnya.

Untuk mengamplifikasi suara penolakan, para akademisi menggalang dukungan melalui penandatanganan petisi. Terhitung sejak Maret sampai April 2020, telah terkumpul dukungan penolakan dari 92 akademisi dari berbagai institusi dan perguruan tinggi di seluruh Indonesia.

Berangkat dari petisi tersebut, para akademisi menggelar diskusi bertajuk “92 Akademisi Menolak Omnibus Law” yang diselenggarakan secara daring pada Rabu (22/4) siang. Diskusi yang dipandu oleh Dian Noeswantari tersebut antara lain menghadirkan Prof Susi Dwi Harijanti, Andri Wibisana dari Universitas Indonesia, dan Haris Retno Susmiyati dari Universitas Mulawarman Kalimantan Timur.

Andri Wibisana mengatakan bahwa RUU Cipta Kerja sejak dalam naskah akademiknya telah menunjukkan itikad untuk menghilangkan AMDAL dan ijin lingkungan. Kalaupun misalnya nanti tetap disetujui adanya AMDAL, RUU Cipta Kerja tidak lagi memberikan kriteria yang jelas serta akan semakin dipermudah, bahkan dokumen ini akan kehilangan ruh karena tidak diserta dengan partisipasi publik.

“Targetnya adalah membuat AMDAL tidak bermakna, tidak penting lagi. AMDAL jiwanya adalah partisipasi. Kalau partisipasi dihapus, maka AMDAL akan jadi dokumen tanpa jiwa, tidak bermakna”. Ujar pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut menjelaskan.

Andri juga mengingatkan bahwa dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup penilaian AMDAL harus melibatkan pemerintah, akademisi, organisasi lingkungan, dan masyarakat terdampak. Sayangnya dalam RUU Cipta Kerja, sifat publik terhadap penilaian AMDAL tersebut dihilangkan, karena akan disub-kontrakkan kepada pihak ketiga yang disebut sebagai lembaga bersertifikat.

“Partisipasi masyarakat dulu dilembagakan, RUU Cipta Kerja justru menghapusnya. Ini akan membuat AMDAL menjadi dokumen tanpa jiwa”.

Sementara itu pakar hukum Universitas Mulawarman, Haris Retno Susmiyati mengatakan bahwa
RUU Cipta Kerja sangat dekat dengan urusan pertambangan. Ia sangat menyayangkan pasal 83C RUU tersebut, karena tidak ada lagi batasan izin pertambangan.

“Memberikan hak kosong, tidak ada syarat yang jelas. ini akan merusak ruang hidup masyarakat, karena tambang membutuhkan lahan yang luas”. Tutur Retno.

RUU Cipta Kerja, kata Retno, seolah menutup mata terhadap kerusakan lingkungan, hancurnya ruang hidup masyarakat dan jatuhnya banyak korban di lubang bekas tambang. Tidak adanya batasan izin, diberikannya kemudahan maupun insentif pajak bagi pelaku usaha semakin menegaskan keberpihakan pemerintah tidak untuk masyarakat.

“Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja hanya menguntungkan pengusaha daripada masyarakat. Pengusaha pertambangan akan mendapatkan kemudahan dalam bentuk pemotongan pajak dan royalty. Kerusakan lingkungan harus ditanggung oleh masyarakat sendiri”. Tegasnya.

Menilik tujuan utama Omnibus Law untuk menciptakan lapangan pekerjaan, Retno menilai itu kontraproduktif karena kegiatan pertambangan padat modal, bukan padat karya.

“Menurut saya itu (tujuan menciptakan lapangan kerja_red.) hanyalah ilusi. Fakta di Kaltim, masyarakat yang bekerja di sektor pertambangan hanya 6,7 persen, dan perempuan 1,2 persen”. Pungkasnya. [*]