Universitas Paramadina Tegaskan Dukungan untuk Kemerdekaan Palestina
Berita Baru, Jakarta – Universitas Paramadina bekerja sama dengan Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC) menyelenggarakan seminar bertajuk “Palestina: Sebuah Tragedi Kemanusiaan di Zaman Modern”. Acara ini berlangsung di Aula Gedung Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Cipayung, dan menghadirkan sejumlah tokoh nasional yang membahas situasi terkini di Palestina.
Dalam sambutannya, Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, menegaskan bahwa Palestina, sebagai negara yang seharusnya sudah merdeka, terus menjadi sorotan dunia internasional.
“Penting bagi Indonesia untuk terus mendukung kemerdekaan Palestina, dan kampus harus menjadi ruang untuk menyuarakan keadilan,” ujarnya.
Wakil Ketua MPR-RI, Hidayat Nur Wahid, yang menyampaikan keynote speech, menyoroti peristiwa tragis pada 7 Oktober 2024 di Gaza yang memicu pandangan berbeda di Indonesia mengenai siapa yang bertanggung jawab. Ia juga menyoroti peta baru Timur Tengah yang diperkenalkan oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang tidak mencantumkan Palestina.
“Langkah ini memicu ketegangan internasional, dan Amerika Serikat telah menegaskan bahwa tidak akan ada gencatan senjata jika Palestina tidak diakui,” jelas Hidayat.
Ia juga menambahkan, meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional, Israel masih belum menerima hukuman setimpal atas berbagai pelanggaran kemanusiaan yang terjadi. “International Court of Justice (ICJ) dan International Criminal Court (ICC) sudah meminta Israel menghentikan serangan militer, namun Israel menolak,” tegasnya.
Pipip A. Rifai Hasan menekankan bahwa masalah Palestina adalah persoalan hak asasi manusia yang fundamental. Menurutnya, meskipun dunia internasional telah sepakat tentang hak-hak kemerdekaan, perlakuan terhadap Palestina justru menunjukkan ketidakadilan.
“Negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan sekutunya sering kali bersikap berlawanan dengan prinsip-prinsip yang mereka anut,” tuturnya.
Prof. Hikmahanto Juwana menyatakan bahwa kebijakan Israel, yang dilandasi oleh dendam terhadap kelompok Hamas, telah menyebabkan tragedi kemanusiaan besar. Ia menjelaskan bahwa tindakan Israel di Gaza tidak sesuai dengan hukum internasional, termasuk tuduhan genosida yang diajukan Afrika Selatan ke ICJ.
“Mahkamah Kejahatan Internasional telah memanggil Netanyahu untuk mempertanggungjawabkan tindakannya,” tambahnya.
Dian Wirengjurit menambahkan bahwa konflik Palestina bukan sekadar masalah agama, tetapi juga memiliki dimensi politik yang rumit. Menurutnya, perebutan wilayah, ideologi, dan sumber daya alam menjadi akar utama masalah ini.
“Peran negara besar seperti China dalam konflik ini, meskipun bukan negara mayoritas Muslim, menunjukkan bahwa ini adalah masalah global,” jelasnya.
Sementara itu, Prof. Din Syamsudin menegaskan bahwa konflik ini memiliki sejarah panjang sejak Deklarasi Balfour 1917. Ia menekankan bahwa Zionisme dan klaim tempat suci semakin memperumit konflik ini. Din juga mengkritik kebijakan bebas visa Israel dengan Uni Emirat Arab, sementara negara Islam seperti Indonesia tidak mendapatkan hak yang sama.