Koalisi Persma Desak Dewan Pers Lindungi Kebebasan Jurnalistik Mahasiswa
Berita Baru, Jakarta – Kekerasan terhadap pers mahasiswa (persma) terus terjadi. Dalam rangka mencari perlindungan dan advokasi yang lebih baik, Koalisi Persma Bersuara Bersama (PBB) secara resmi menyerahkan rekomendasi kepada Dewan Pers pada Kamis (19/12/2024). Langkah ini bertujuan mendesak Dewan Pers untuk responsif dan memastikan setiap sengketa pemberitaan persma diselesaikan dengan mekanisme pers yang adil.
“Kami terus mendorong Dewan Pers agar tidak ada lagi kekerasan yang dialami pers mahasiswa,” ujar Koordinator Forum Pers Mahasiswa Jabodetabek (FPMJ), Fadli Faturrahman, dalam diskusi publik bertajuk “Kampus sebagai Ruang Demokrasi: Kebebasan Berekspresi Sudah Mati?” di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.
Rekomendasi tersebut diterima langsung oleh Tenaga Ahli Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Hendrayana. Rekomendasi itu memuat lima tuntutan, antara lain pengakuan persma sebagai bagian dari ekosistem pers nasional, kerja sama Dewan Pers dengan Kementerian Pendidikan terkait perlindungan persma, serta penegasan bahwa kampus harus mendukung aktivitas persma tanpa intervensi redaksional.
Menurut data Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), kasus represi terhadap persma meningkat tajam, dari 58 kasus pada 2017-2019 menjadi 185 kasus pada 2020-2021. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Bandungbergerak.id bersama enam lembaga pers mahasiswa di Bandung Raya mencatat 34 kasus kekerasan terhadap persma dalam 10 tahun terakhir, dengan pelaku yang bervariasi, termasuk pejabat kampus, aparat keamanan, dan narasumber.
Kasus terbaru terjadi di Universitas Hasanuddin, Makassar, pada 28 November 2024, di mana lima pengurus pers mahasiswa dari UKPM Catatan Kaki ditangkap oleh Polrestabes Makassar tanpa surat tugas resmi. Penangkapan ini dinilai sewenang-wenang, disertai penahanan hingga tengah malam.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin, menyebut bahwa perlindungan terhadap persma harus menjadi perhatian semua pihak. “Semangat ini harus dibangun terus. Tidak bisa berjalan sendiri,” tegas Ade dalam siaran pers LBH Pers yang rilis pada Senin (23/12/2024).
Hendrayana dari Dewan Pers menyatakan bahwa pihaknya siap membantu persma yang mengalami kekerasan. “Kami siap membantu, bersurat saja ke Dewan Pers,” ujarnya. Ia juga menekankan pentingnya kerja sama antara Dewan Pers dan Kementerian Pendidikan untuk perlindungan persma, seperti yang telah dituangkan dalam perjanjian kerja sama pada Maret lalu.
Ketua Komisi Hukum Dewan Pers, Arif Zulkifli, berharap perjanjian kerja sama ini mampu melindungi aktivitas jurnalistik persma dari intimidasi dan pembredelan. “Kalau ada kasus, mudah-mudahan kampus bisa mentaati perjanjian kerja sama ini. Tidak boleh ada pembredelan,” ujar Arif.
Sari Wijaya, Program Officer Yayasan Persahabatan Indonesia Kanada (YAPPIKA), menekankan bahwa kampus harus mengakui keberadaan pers mahasiswa sebagai bagian dari kebebasan akademik dan demokrasi. “Suara dari mahasiswa di kampus adalah wujud dari kebebasan akademik. Harus diakui negara dan kampus,” katanya.
PBB bersama organisasi masyarakat sipil seperti AJI Jakarta, LBH Pers, dan YAPPIKA, terus mendukung perjuangan pers mahasiswa sebagai bagian penting dalam menjaga demokrasi di lingkungan kampus. Dengan dukungan Dewan Pers dan keterlibatan berbagai pihak, diharapkan kekerasan terhadap persma dapat diminimalisasi.