Petani TWA Batur Layangkan Surat Keberatan atas Izin Proyek Leisure Park PT. TPB
Berita Baru, Bangli – Empat petani hutan dari Kelompok Tani Sari Merta (KTSM), dengan didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, YLBHI, dan LBH Jakarta, resmi mengajukan surat keberatan kepada Pemerintah Pusat. Surat tersebut ditujukan kepada Menteri Investasi/Kepala BKPM, Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, dan Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Kehutanan.
Surat keberatan tersebut merespons diterbitkannya izin usaha bagi PT. Tanaya Pesona Batur (PT. TPB) untuk membangun proyek pariwisata Leisure Park di atas lahan seluas 85,66 hektare, termasuk lahan garapan petani setempat. Para petani memprotes keras proyek tersebut karena merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan sejak awal.
“Proses sosialisasi dan pemberian informasi baru dilakukan setelah izin terbit. Itu pun dilakukan dengan cara-cara yang tidak patut dan tidak melibatkan warga secara bermakna,” ungkap salah satu petani anggota KTSM yang enggan disebutkan namanya.
Selain itu, para petani melaporkan bahwa proyek tersebut telah menimbulkan kerugian nyata bagi mereka, mulai dari kerusakan barang dan lahan pertanian hingga konflik sosial, intimidasi berulang, dan upaya kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan hak atas lahan mereka. “Upaya perampasan lahan ini melanggar hak kami atas tanah, sumber daya alam, lingkungan yang baik dan sehat, serta mengancam akses terhadap pekerjaan dan pendidikan,” tegas seorang perwakilan LBH Bali.
LBH Bali dalam rilis persnya di akun Instagram resmi @lbh_bali pada Kamis (19/12/2024) menyebut bahwa proyek Leisure Park ini juga melanggar prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang diatur dalam Deklarasi Rio 1992. Pelanggaran tersebut mencakup prinsip kehati-hatian, partisipasi bermakna, tanggung jawab terhadap pelestarian ekosistem, serta keadilan antargenerasi.
Pemerintah Pusat dinilai telah mengabaikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). LBH Bali menegaskan bahwa penerbitan izin ini bertentangan dengan prinsip kemanfaatan serta kepentingan umum, yang seharusnya mengutamakan kesejahteraan warga dan mengedepankan proses yang aspiratif, akomodatif, dan non-diskriminatif.
“Sentralisasi perizinan melalui UU Cipta Kerja memungkinkan terbitnya izin proyek seperti Leisure Park PT. TPB ini tanpa partisipasi publik yang berarti. Masyarakat lokal, yang paling mengetahui kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan setempat, justru tidak dilibatkan, namun menerima dampaknya,” ujar perwakilan dari LBH Bali.
Dampak proyek ini tidak hanya dirasakan oleh petani, tetapi juga mencakup ancaman terhadap ekosistem lingkungan dan risiko degradasi lahan konservasi. Konversi lahan seluas 85,66 hektare dikhawatirkan merusak keanekaragaman hayati di kawasan TWA Batur, yang merupakan wilayah hutan konservasi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, para petani melalui surat keberatannya meminta Pemerintah Pusat untuk membatalkan izin usaha PT. TPB dan dokumen pendukung izin lainnya. Mereka juga menuntut agar pelaksanaan proyek ditunda guna mencegah kerugian lebih lanjut terhadap hak-hak warga, kerusakan lingkungan hidup, dan konflik sosial.
“Kami menolak proyek ini karena telah mencaplok lahan garapan kami tanpa proses partisipatif. Pemerintah seharusnya melindungi masyarakat, bukan memfasilitasi perampasan lahan oleh pihak swasta,” pungkas salah seorang petani KTSM. Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak PT. TPB maupun pejabat Pemerintah Pusat terkait surat keberatan yang diajukan oleh para petani dan organisasi pendamping. Komunitas petani bersama LBH Bali, YLBHI, dan LBH Jakarta berkomitmen untuk terus mengawal proses ini demi memperjuangkan hak-hak warga TWA Batur.