Rektor Universitas Hasanuddin Dikecam Atas Kebijakan Anti-Demokrasi dan Tindakan Represif
Berita Baru, Makassar — Universitas Hasanuddin (Unhas) kembali menjadi sorotan setelah serangkaian demonstrasi mahasiswa pada Rabu (27/11) berujung pada penangkapan 21 mahasiswa oleh aparat keamanan. Langkah represif ini dipicu oleh kebijakan kontroversial Rektor Jamaluddin Jompa yang dinilai anti-demokrasi dan tidak berpihak pada mahasiswa.
Aksi protes mahasiswa ini dipicu oleh sejumlah persoalan, termasuk larangan aktivitas malam yang membatasi kebebasan akademik, penanganan kasus kekerasan seksual yang dinilai tidak memadai, serta pemecatan seorang mahasiswa secara sepihak.
Dalam aksinya, mahasiswa memprotes Surat Edaran Rektor Nomor 09503/UN4.1/HK.05/2023 yang membatasi aktivitas kampus hingga pukul 20.00 WITA. Kebijakan ini dianggap merugikan mahasiswa, terutama yang menggunakan fasilitas kampus untuk kegiatan diskusi dan lapakan. Ironisnya, di sisi lain, Unhas tetap mengoperasikan unit bisnis hotel dalam kampus selama 24 jam.
“Kebebasan akademik adalah hak fundamental mahasiswa yang tidak boleh dibatasi dengan kebijakan yang tidak adil. Pembatasan ini merugikan kualitas pendidikan,” ujar Hutomo, Kepala Divisi Sipil dan Politik LBH Makassar sebagaimana dikutip dalam siaran pers LBH Makassar pada Senin (2/12/2024).
Salah satu isu yang memicu kemarahan mahasiswa adalah kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen Unhas, Firman Saleh, terhadap mahasiswa bimbingannya. Meskipun terbukti bersalah, dosen tersebut hanya diberi sanksi skorsing selama dua semester oleh Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unhas.
“Keputusan ini tidak hanya mengecewakan korban tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap komitmen kampus dalam melindungi korban kekerasan seksual,” tegas Nunuk, Staf Advokasi Perempuan dan Anak.
Situasi semakin memanas ketika Alief Ghufran, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, dipecat secara sepihak oleh Rektor tanpa peringatan sebelumnya. Alief diketahui terlibat dalam aksi demonstrasi menuntut keadilan atas kasus pelecehan seksual di kampus.
“Pemecatan ini menunjukkan bagaimana birokrasi kampus lebih memilih membungkam mahasiswa daripada mendengarkan aspirasi mereka,” ujar Ian, Staf Advokasi Sipil dan Politik.
Demonstrasi mahasiswa pada Rabu malam diwarnai tindakan represif dari aparat kepolisian yang merangsek masuk ke berbagai fakultas dan menangkap mahasiswa secara acak. Penangkapan ini dilakukan tanpa dasar bukti kuat, melanggar ketentuan Pasal 54 KUHAP tentang hak tersangka untuk mendapatkan bantuan hukum.
“Penangkapan tanpa alat bukti yang jelas merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Kepolisian bertindak sewenang-wenang dan merusak prinsip demokrasi,” tambah Ian.
Setelah mendapat tekanan dari massa aksi dan tim hukum, 21 mahasiswa yang ditahan akhirnya dibebaskan pada dini hari. Namun, tindakan represif ini menambah panjang catatan buruk Unhas dan aparat keamanan dalam menangani protes mahasiswa.
Hingga saat ini, mahasiswa Unhas terus menyerukan perlawanan terhadap kebijakan anti-demokrasi di bawah kepemimpinan Rektor Jamaluddin Jompa. Mereka mendesak kampus untuk mencabut kebijakan yang membatasi kebebasan akademik, menangani kasus kekerasan seksual secara adil, dan menghentikan tindakan represif terhadap mahasiswa yang menyuarakan aspirasi.
“Universitas seharusnya menjadi ruang aman untuk berpikir kritis, bukan tempat di mana suara mahasiswa dibungkam,” tutup Hutomo.