Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

bencana alam
Ilustrasi bencana alam (foto: istimewa)

1.839 Bencana Selama 2022 di Pulau Jawa Disebabkan Faktor Ekologis



Berita Baru, Jakarta – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat 1.839 bencana alam selama 2022, atau 51,8 persen dari total 3.545 bencana alam Indonesia terjadi di Pulau Jawa.

Walhi menilai bahwa sejumlah besar bencana di Jawa tidak hanya disebabkan oleh faktor alam, tetapi juga kombinasi dari efek perubahan iklim, tata ruang yang salah urus, mega-infrastruktur, dan ekonomi politik dari kontrol tata ruang.

“Dari keseluruhan faktor dampak bencana tersebut, kami mendefinisikan bencana yang melanda Pulau Jawa sebagai bencana ekologis,”  kata Ketua Kampanye Urbanisasi Keadilan Nasional Walhi Abdul Gofar dalam keterangan tertulis, Senin (23/1/2023).

Walhi DKI Jakarta, misalnya, mencatat banjir di Jakarta terjadi setiap tahun dan kondisinya semakin parah. Pada akhir tahun 2022, banjir parah terjadi di wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur.

 “Masalah utama banjir Jakarta adalah persoalan tata ruang yang masih mengakomodasi pembangunan skala besar di wilayah resapan air,”  kata Suchi F. Tanjung, aktivis Walhi Jakarta.

Selain itu, ada pula faktor salah urus pembangunan Kali Tsiliwung yang menjadi Daerah Aliran Sungai atau DAS terbesar di Jakarta, dengan proyek konkrit hingga isu privatisasi lahan kosong oleh sejumlah korporasi besar. Sementara di sisi lain, implementasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Jakarta secara kuantitatif juga masih berada di angka 9 persen.

WALHI Jawa Barat menyoroti isu bencana alam, khususnya banjir di Cekungan Bandung, yang disebabkan oleh kekacauan tata ruang. Masalah ini disebabkan oleh alih fungsi kawasan hulu dan lahan pertanian organik menjadi peruntukan lain seperti perumahan mewah.

Alih fungsi lahan yang masif di Bandung juga diyakini telah menurunkan kuantitas dan kualitas sumber air baku bagi warga. Walhi Jawa Barat mencatat lebih dari satu juta warga Kota Bandung tidak mendapat air baku dari pemerintah.

“Keadaan akan semakin parah karena berkurangnya sumber air akibat masifnya pembangunan infrastruktur di kawasan penyangga,” ujar Harudin Inas dari Walhi, Jawa Barat.

Walhi Jawa Tengah menyoroti penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang menjadikan Kota Semarang dan kurang lebih 15 kabupaten kota lain di Jawa Tengah mengalami bencana banjir dan tanah longsor dalam kurun waktu hampir bersamaan. Di Kota Semarang, mereka menyebut terjadi perubahan peruntukan lahan secara signifikan dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. 

Wilayah atas yang menjadi zona penyangga telah mengalami perubahan fungsi menjadi kawasan permukiman, pusat pendidikan dan kawasan komersial. Sementara wilayah bawah, terutama pesisir mengalami kerusakan ekosistem akibat alih fungsi kawasan mangrove dan masifnya proyek reklamasi untuk industri dan perumahan mewah.

“Bencana banjir dan rob di Kota Semarang juga turut dikontribusikan oleh percepatan penurunan muka tanah akibat ekstraksi air tanah besar-besaran dan dampak perubahan iklim,” kata Fahmi Bastian dari Walhi, Jawa Tengah.

Walhi Yogyakarta melihat proyek perkotaan baru Aeropolis Kulon Progo dibangun di daerah rawan bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami. Ambisi Aeropolis memacu Proyek Strategis Nasional Bendungan Bener (PSN) yang mengambil alih ruang hidup warga di lingkungan lain seperti Wadas.

Sedangkan di kawasan Gunung Kidul, Kawasan Bentang Alam Karst Gunung Sewu (KBAK) yang merupakan kawasan perlindungan perairan justru akan dikurangi untuk disesuaikan dengan kebutuhan pariwisata.

“Sumber air terdekat dihilangkan, lalu mencari sumber air di wilayah lain, tetapi caranya eksploitatif sehingga merusaknya,” ujar Halik Sandera dari WALHI Yogyakarta.

Terakhir, Walhi Jawa Timur menyoroti bagian atas DAS Brantas yaitu kota Batu dengan tata ruang yang serba semrawut. Kawasan lindung sedang diubah menjadi hotel, wisata buatan dan penggunaan lainnya. Sementara di Surabaya, ekspansi korporasi perumahan mewah besar di daerah pinggiran seperti Surabaya Barat dan Timur telah menyebabkan hilangnya daerah aliran sungai seperti konversi waduk dan mangrove.

“Peningkatan kejadian bencana dan peningkatan kerentanan kota mengakibatkan peningkatan dampak dan perluasan area terdampak bencana,” kata Wahyu Eka dari Walhi, Jawa Timur.